INILAH awal gerakan sporadis Arek-arek Suroboyo menantang dan melawan
keinginan kolonial untuk kembali menancapkan kukunya menjajah bumi
pertiwi, Indonesia.
Tanggal 19 September 1945 bagi warga Kota
Surabaya, harus selalu dikenang. Sebab itulah gerakan heroik yang sulit
dilupakan sebagai awal kebangkitan Arek Suroboyo yang kemudian berkobar
dalam peristiwa 10 November 1945. Tanggal yang menjadi tonggak sejarah,
sehingga Kota Surabaya memperoleh predikat “Kota Pahlawan”.
Betapa tidak, kejadian di tanggal 19 Sptember 1945 yang dikenal dengan
“insiden bendera”, merupakan pemicu semangat juang Arek Suroboyo. Adanya
peristiwa perobekan bendera Belanda tiga warna “merah-putih-biru” di
atas gedung hotel Yamato (nama di zaman Jepang yang semula zaman Belanda
bernama hotel Orange, kini bernama Hotel Majapahit) di Jalan Tunjungan
65 Surabaya itu, benar-benar memperkokoh persatuan pemuda pergerakan di
Surabaya.
Hotel Majapahit, sekarang ini, di zaman Belanda
bernama LMS Orange Hotel. LMS adalah singkatan nama Lucas Martin
Sarkies. “Orange” adalah warna kebanggan bangsa Belanda. Bahkan, hingga
sekarang kesebelasan sepakbola nasional Belanda menggunakan seragam kaus
berwarna orange. Sewaktu Jepang berkuasa, nama hotel ini diganti
menjadi Hotel Yamato.
Wiwiek Hidayat (alm) mantan kepala kantor
berita “Antara” di Surabaya, saat masih hidup di tahun 1990-an dalam
wawancara dengan penulis pernah mengungkap berbagai peristiwa di tahun
1945. Banyak hal tentang perjuangan Arek Suroboyo dan para wartawan di
kala itu yang diceritakan kepada penulis. Ada yang dalam bentuk
wawancara, maupun bincang-bincang di waktu senggang. Berbagai kisah masa
lalu banyak yang sempat kami catat dari tokoh pers dan pelaku sejarah
perjuangan Surabaya ini .
Dari Tunjungan 100
Kendati tidak
ikut naik ke atas gedung hotel Yamato yang persis di depan kantor berita
Antara di jalan Tunjungan 100 Surabaya itu, Wiwiek Hidayat adalah saksi
mata. Ia mengabadikan dan mencatat dengan rapi kejadian di puncak hotel
yang kemudian bernana Hotel Majapahit itu. Pak Wiwiek – begitu wartawan
senior ini biasa disapa – secara tegas menyatakan tahu persis nama
orang yang merobek kain warna biru dari bendera Belanda itu. Kain warna
biru itu dirobek dengan digigit. Setelah robek, dua warna merah putih
tersisa kembali diikatkan ke tiang bendera dan menjadi sangsaka
merah-putih. “Nama orang itu adalah Kusno Wibowo yang dibantu Onny
Manuhutu dan ada dua orang lagi yang saya tidak kenal,” kata Pak Wiwiek.
Memang, ada yang lain, tetapi mereka membantu membawa tangga dan hanya
naik ke atap gedung bagian tengah, serta beramai-ramai berteriak penuh
semangat. Jadi yang berada di puncak tempat tiang bendera itu, hanya ada
empat orang. Foto dokumentasinya masih tersimpan di kantor berita
“Antara”, ujar Pak Wiwiek waktu itu. Anehnya, kemudian banyak orang lain
yang mengaku-ngaku sebagai pelaku perobekan. Sehingga, akhirnya
diputuskan dan disepakati bahwa pelakunya adalah “Arek Suroboyo” (tanpa
nama).
Pak Wiwiek di tahun-tahun terakhir sebelum beliau
berpulang ke Rahmatullah, hampir tiap sore bertandang ke Balai Wartawan
Jalan Taman Apsari 15-17 Surabaya. Di sana ia berkumpul dengan wartawan
muda. Keakraban dengan wartawan muda itu, memberi gairah Pak Wiwiek
bernostalgia. Sehingga pikiran jernihnya berhasil mengungkap tabir di
balik peristiwa insiden bendera yang bersejarah itu.
Hari
Selasa, 18 September 1945, siang hingga sore beberapa anak muda Belanda
Indo mengibarkan bendera Belanda “merah-putih-biru” di atas gedung hotel
Yamato. Mereka itu berada di bawah perlindungan opsir-opsir tentara
Sekutu dan Belanda dari kesatuan Allied Command. Tentara ini datang ke
Surabaya bersama rombongan Intercross atau Palang Merah Internasional.
Beberapa hari sebelumnya terdengar kabar, bahwa anak-anak muda Belanda
Indo itu membentuk organisasi bernama “Kipas Hitam”. Tujuannya untuk
melawan gerakan kemerdekaan Indonesia yang sudah diproklamasikan 17
Agustus 1945 (sebulan sebelumnya). Selain berlindung di belakang opsir
Sekutu dari Alleid Command, ternyata para opsir itu adalah NICA
(Netherland Indies Civil Administration) yang ingin mencengkeramkan
kembali kukunya di Bumi Nusantara.
“Melihat tingkah bule-bule di
hotel yang terlihat jelas dari kantor berita Antara, membuat darah para
wartawan mendidih. Ulah tingkah anak-anak muda Belanda itu segera
disebarkan kepada kelompok pergerakan. Situasi semakin menghangat dan
hiruk pikuk, tatkala melihat bendera Belanda tiga warna berkibar di atas
hotel Yamato”, cerita Pak Wiwiek.
Suasana bertambah panas,
ketika besoknya pada Hari Rabu, 19 September 1945 pagi, anak-anak muda
Belanda Indo itu berkumpul di depan hotel. Beberapa orang yang melihat
bendera Belanda berwarna “merah-putih-biru” berkibar di puncak hotel
Yamato, tidak hanya sekedar menggerutu, tetapi beberapa di antaranya
berteriak-teriak histeris. Mereka minta agar bendera itu diturunkan.
Namun anak-anak muda Belanda Indo itu menolak dan dengan congkaknya
seolah-olah menantang.
Sadar bahwa ulah anak-anak Belanda itu
sudah keterlaluan. Suasana di kalangan anak muda Surabaya semakin tidak
menentu. Mau bertindak sendiri-sendiri, masih ada keragu-raguan. Belum
ada satupun yang mengambil inisiatif, termasuk para wartawan dan pemuda
pergerakan yang berada di kantor berita Antara. Namun, beberapa wartawan
mendatangi kantor Komite Nasional dan Kantor Keresidenan Surabaya,
menanyakan tentang sikap pemerintah dengan adanya bendera Belanda di
atas hotel Yamato. Pejabat di dua kantor itu mengaku belum tahu.
Residen Sudirman dengan beberapa pejabat, di antaranya walikota Surabaya
waktu itu, Radjamin Nasution dan Cak Ruslan (Roeslan Abdulgani, tokoh
pemuda waktu itu), bersama beberapa wartawan, termasuk saya dan Sutomo
(Bung Tomo), kata Wiwiek Hidayat, segera mendatangi hotel Yamato. Kepada
perwakilan Sekutu yang ada di sana, Pak Dirman – panggilan akrab
Residen Soedirman – minta agar bendera Belanda itu diturunkan. Saat
rombongan Residen Sudirman masuk ke halaman hotel, di sepanjang Jalan
Tunjungan, massa sudah ramai.
Kepada perwakilan Sekutu itu dikatakan
bahwa Indonesia sudah memproklamasikan kemerdekaannya, 17 Agustus 1945.
Namun, pihak sekutu menolak menurunkan bendera Belanda itu. Mereka
menjawab, dalam Perang Dunia II itu yang menang adalah Sekutu, di
dalamnya termasuk Belanda, sehingga tidak ada alasan untuk menurunkan
bendera Belanda itu.
Ploegman Tewas
Rupanya perwakilan Sekutu
itu adalah orang Belanda, bahkan dengan sombongnya ia mengacungkan
pistol ke arah Pak Dirman. Saat itu, kata Wiwiek, seorang pemuda
menendang pistol yang diacungkan pria kulit putih itu. Terjadi
perkelahian dan saling keroyok antara bule-bule dengan pemuda yang
datang menyerbu masuk ke halaman hotel. Tauran (perkelahian massal) tak
dapat dihindarkan. Apa saja yang ada saat itu dipergunakan jadi senjata.
Ada kayu, batu, botol minuman dan ada seorang polisi menggunakan
pedang. Ada yang mengangkat sepeda dan dilemparkan ke tengah massa.
Suasana hirukpikuk ini tambah seru, tatkala massa berdatangan dari arah
utara dan selatan. Ada yang naik truk dan juga ada yang dengan trem.
Yang naik trem listrik itu adalah orang hukuman yang dilepaskan dari
penjara oleh Pemuda DKA (Djawatan Kereta Api – sekarang PT.KAI atau
Kereta Api Indonesia). Massa menyerbu masuk sampai ke dalam hotel.
Sementara itu di luar beberapa orang membawa tangga dan naik ke atas
gedung. Ada enam atau tujuh tangga bambu yang disebut ondo itu dibawa
warga dari kampung Ketandan dan kampung Kebangsren. Dengan ondo itu,
anak-anak muda berjuang memanjat ke atas, hingga akhirnya bendera
Belanda itupun diturunkan, namun sertamerta warna biru dari bendera itu
dirobek, lalu dwiwarna yang tersisa kembali menjulang di angkasa. Kain
warna biru digulung dan dilemparkan ke bawah. Teriakan “Merdeka…!,
merdeka! sembari mengepalkan tangan saling bersahutan.
Waktu itu,
memang di depan hotel ada serdadu Kempetai (tentara Jepang) yang menjaga
dengan senapan dan sangkur terhunus. Namun melihat suasana massa,
serdadu Jepang itu hanya diam berbaris, tidak berani melepaskan
tembakan.
Dari insiden ini empat pemuda menjadi korban luka berat.
Mereka, adalah Sidik, Hariono, S.Mulyadi dan Mulyono. Mereka dilarikan
ke rumah sakit Simpang (sekarang sudah tidak ada, di tempat itu kini
berdiri gedung Medan Merdeka, Bursa Efek Surabaya (BES), Bank Mandiri
dan Plaza Surabaya. Sedangkan korban di pihak Belanda, adalah Ploegman.
Ia tewas akibat tusukan senjata tajam.
Pekik Merdeka
Pekik
merdeka tiada hentinya berkumandang dalam setiap pertemuan. Ulah
anak-anak Indo Belanda yang datang ke Surabaya mempersiapkan kedatangan
pasukan Sekutu yang ditugasi melucuti senjata serdadu Jepang, memancing
kemarahan warga Kota Surabaya.
Rakyat, terutama para pemuda
menyadari, sejak saat itu kemerdekaan yang diproklamasikan 17 Agustus
1945, belum aman. Gejala pihak Belanda ingin menjajah kembali mulai
terlihat. Untuk mempertahankan tegaknya negara kesatuan Republik
Indonesia di Surabaya, diperlukan senjata dan alat angkutan untuk
bergerak cepat. Itulah sebabnya pemuda dan anak-anak kampung di Surabaya
melakukan perampasan terhadap mobil-mobil Jepang yang lewat. Bahkan,
mereka tidak segan-segan menempelkan kertas merah-putih di kaca-kaca
mobil pembesar Jepang.
Tidak jarang, setelah mobil-mobil ditempeli
kertas merah-putih, mobil itu diambilalih. Sebelum tentara Sekutu
melucuti senjata serdadu Jepang itu, para pemuda Surabaya sudah
mendahuluinya. Perampasan senjata juga dilakukan di markas dan
gudang-gudang Kempetai.
Memanasnya kemelut setelah insiden bendera
di Hotel Yamato, mendorong para pimpinan pemuda untuk melakukan
koordinasi. Dua hari kemudian, tanggal 21 September, setelah berlangsung
rapat KNID (Komita Nasional Indonesia Daerah) di GNI (Gedung Nasional
Indonesia) Jalan Bubutan, terbentuklah badan perjuangan yang diberi nama
PRI (Pemuda Republik Indonesia).
Dalam rapat PRI disepakati, bahwa
PRI adalah organisasi yang tidak memandang perbedaan paham dan golongan.
Rapat juga membicarakan berbagai taktik dan cara menghadapi tentara
Sekutu yang datang melucuti serdadu Jepang. Roeslan Abdul Gani alias Cak
Roes dalam rapat itu mengobarkan semangat juang para pemuda. Cak Roes
juga menanamkan rasa permusuhan terhadap tentara Sekutu.
Sebagai
langkah awal koordinasi, disusun pengurus PRI dengan ketua: Sumarsono
dengan dua wakil ketua: Krissubanu dan Koesnadi. Penulis I dan II,
masing-masing: Bambang Kaslan dan Roeslan Effendi, serta bendaharanya:
Nn.Supijah. Markas PRI berada di Wilhelmina Princesslaan (sekarang
bernama Jalan Tidar) Surabaya. Namun, pada tanggal 4 Oktober 1945,
markas PRI ini dipindah ke gedung Simpang Societeit (sekarang bernama
Balai Pemuda) di Jalan Gubernur Suryo 15 Surabaya.
Terjadinya
pengambilalihan kekuasaan dari tangan penguasaan Jepang di berbagai
instansi, di bulan September 1945 itu menambah semangat persatuan di
kalangan pemuda. Sampai-sampai begitu semangatnya, di Surabaya muncul
poster-poster dengan tulisan: 1 Oktober 1945 akan menjadi “hari
pembantaian anjing-anjing Jepang”. Poster itu disebarkan ke mana-mana,
kebanyak oleh anggota PRI. Di samping itu, berita dari mulutu ke mulut
menjalar ke seantero kota.
Melihat adanya gejala “akan main hakim
sendiri”, maka pimpinan PRI dan tokoh pemerintahan, serta anggota KNID,
melakukan rapat. Disusunlah strategi jitu untuk melakukan penyerangan ke
markas Kempetai dan markas-markas Angkatan Laut Jepang di Jalan Embong
Wungu, markas Angkatan Darat Jepang di Jalan Darmo, Gungungsari, Sawahan
dan lain-lain.
Penyerangan dikordinasikan oleh PRI bersama BKR
(Badan Keamanan Rakyat), serta Polisi Istimewa. Saat terjadi penyerangan
1 Oktober 1945, korban berjatuhan dari ke dua belah pihak. Puluhan
orang serdadu Jepang terbunuh dan ratusan orang lainnya digiring masuk
penjara dan kamp tahanan.
Pihak Jepang di Surabaya akhirnya
menyatakan menyerah kepada pimpinan pemerintahan daerah di Surabaya
tanggal 2 Oktober 1945. Panglima Divisi tentara Jepang Jawa Timur,
Jenderal Iwabe, memerintahkan seluruh serdadu Jepang untuk menyerah
kepada BKR, sekaligus menyerahkan seluruh senjata dan gudang-gudangnya.
Sebaliknya, pihak Indonesia, menyanggupi untuk menjaga keamanan semua
orang Jepang. Penyerahan kekuasaan oleh Jenderal Iwabe ini kemudian
diikuti pula oleh Laksamana Laut Shibata, 7 Oktober 1945.
Dekrit
Setelah berhasil mencapai kemenangan, Pemerintah Keresidenan Surabaya
mengeluarkan “Dekrit” atas nama Pemerintah Republik Indonesia yang
berisi enam pasal. Maksud dekrit itu untuk menggalang kekuasaan lebih
lanjut di bawah pengawasan BKR. KNID juga mengeluarkan seruan agar
rakyat mematuhi semua komando dari BKR.
Residen Sudirman kemudian
membentuk komite pelaksana untuk membantu pemerintah keresidenan.
Anggota komite pelaksana, selain dari KNID, juga masuk pimpinan buruh,
Syamsu Harya Udaya dan ketua PRI, Sumarsono.
Markas Besar PRI di
Balai Pemuda, benar-benar menjadi pusat kegiatan dan koordinasi antar
pemuda Surabaya. PRI dengan cepat berkembang dengan dibentuknya PRI
lokal di kampung-kampung. Kemudian diresmikan pula enam cabang,
masing-masing: Cabang Kampement (Jalan Sunan Giri), Sidodadi, Ketabang,
Bubutan, Kaliasin dan Darmo. Dari enam cabang itu, kemudian diubah
menjadi tiga pusat, yakni: PRI Utara, PRI Tengah dan PRI Selatan.
PRI Surabaya di waktu itu merupakan laskar yang kuat dan popular.
Kekuatannya, hampir sama dengan kekuatan TKR di Surabaya. Kegiatan
menonjol yang menjadi cacatan sejarah yang dilakukan PRI, antara lain:
terlibat langsung dalam peristiwas pembunuhan yang terjadi di kamp
tawanan Jepang di Jalan Bubutan (Koblen). Selain itu juga ikut terlibat
dalam peristiwa penggeledahan kantor RAPWI (Recovery of Allied Prisoners
and War Internees) di Hotel Yamato, kantor NICA (Nedherlands Indies
Civil Administration), serta beberapa rumah milik orang-orang Eropa di
Surabaya.
Dari penggeledahan yang dilaksanakan 11 Oktober 1945 itu,
ditemukan banyak bukti yang berhubungan dengan rencana penyerangan pihak
Sekutu ke Indonesia. Saat penggeledahan itu juga dilakukan penyitaan
terhadap alat komunikasi, perta dan dokumen yang merupakan kerja
intelejen dan mata-mata. Dari temuan itu, tekad bulat pemuda untuk
mempermalukan kedatangan armada Sekutu yang bekal mendarat di Tanjung
Perak Surabaya, sudah semakin bulat. Bahkan di dalam kota, kegiatan
pemboikotan pasokan makanan untuk orang Eropa, khususnya Belanda Indo.
Tanggal 12 Oktober 1945, merupakan hari bersejarah bagi Bung Tomo
(Sutomo) dan kawan-kawannya. Pada hari itu, bertempat di rumah Jalan
Biliton No.7 disepakati lahirnya sebuah organisasi bersenjata bernama
“Pimpinan Pemberontakan Rakyat Surabaya” (PPRS). Para pelopor
pemberontakan harus berani bertanggungjawab sepenuhnya seandainya
digempur dan dikalahkan oleh Inggris dan sekutunya. Para pelaku
pertemuan itu, dalam buku Laporan Survey Sejarah Kepahlawanan Kota
Surabaya, adalah: Sutomo (Bung Tomo), Soemarno, Asmanu, Abdullah,
Atmadji, Sudjarwo, Suluh Hangsono dan beberapa pemuda lainnya.
Bung
Tomo mengatakan, PPRS yang kemudian diubah menjadi BPRI (Barisan
Pemberontakan Rakyat Indonesia), adalah organisasi pemuda yang sedikit
teratur dan mengambil bagian terpenting dalam peran Surabaya. Organisasi
ini tidak mempunyai afiliasi politik yang resmi, tetapi memiliki
beberapa stasiun radio dan mengemudikan beberapa stasiun radio.
Setelah BPRI terbentuk, kegiatan pemuda bersenjata semakin teratur dan
terkendali. Kerjasama dengan organisasi pemuda lainnya mulai terbangun.
Masing-masing kelompok membagi dan menentukan wailayah operasinya.
Tidak hanya di darat, kekuatan pemuda mulai bersatu. Setelah Jepang
bertekuk lutut kepada Sekutu, para pemuda Indonesia yang berada di
kapal, juga melakukan kegiatan. Operasi laut pertama kali dilakukan ke
Pulau Nyamukan (Djamuan Riff) yang terletak beberapa mil dari dermaga
Ujung, Surabaya. Dari operasi tanggal 14 Oktober 1945 di laut itu
berhasil diperoleh surat perintah menyerah dari Kaigun Saiko Sjikikan
(Komandan Tertinggi Angkatan Laut Jepang di Surabaya), Laksamana
Sjibata.
Unsur laut yang terlibat dalam operasi itu antara lain: TKR
Laut, MKR dan PHL. Dengan menggunakan kapal perang tipe pemburu kapal
selam (Submerine Chaser) S-115 yang diambilalih dari tangan Kaigun
Jepang, 7 Oktober 1945. Sebagai komandan kapal diangkat Dento dengan
kepala kamar mesin, Kunto serta kepala persenjataan, Gimo. Sebagi
pimpinan operasi bertindak Atmadji yang juga pimpinan MKR Surabaya.
Dalam operasi itu ikut ula Moch.Afandi, ketua umum PAL (Penataran
Angkatan Laut) Gunadi dan beberapa pimpinan TKR Laut.
Dalam operasi
laut itu, kapal S-115 yeng menggunakan bendera Merah Putih itu, berhasil
menggiring 34 buah barkas pendarat (Daihatsu) dari Pulau Nyamukan yang
mengangkut 419 orang tentara laut Jepang. Operasi tanpa pertumpahan
darah itu tiba di dermaga Ujung malam hari. Selain menawan ke 419 orang
tentara laut Jepang itu, TKR Laut juga menyita 34 barkas pendarat, 217
senapan karabyn, 22 senapan mesin dan beberapa peti granat, serta
amunisi.
Peristiwa yang merupakan prestasi besar ini tersebar dengan
cepat, berkat siaran radio BPRI dan siaran radio Surabaya yang
disampaikan dalam amanat Drg.Moestopo.
Menjelang kedatangan pasukan
Inggris dengan bendera Sekutu itu, terjadi berbagai ekses. Setiap warga
Belanda dan Indo laki-laki dan remaja usia di atas 16 tahun ditangkapi
oleh anggota PRI. Mereka dijemput di asrama dan rumah-rumah dengan
menggunakan truk. Dari pagi hingga petang pada tanggal 15 Oktober 1945,
sebanyak 3.500 orang dimasukkan ke penjara Kalisosok Surabaya.
Gerakan pemuda di Surabaya semakin panas, apalagi dengan terjadinya
pertempuran antara pihak Indonesia dengan pihak militer Jepang di
Semarang. Peristiwa lima hari 15 sampai 20 Oktober di Jawa Tengah itu
membuat se bagian pemuda Surabaya yang “dendam” terhadap perlakuan
Jepang sebelumnya berupaya melakukan tindakan balasan. Spanduk dan
selebaran yang berasal dari Semarang membuat darah Arek Suroboyo
mendidih. Isinya: “Singkirkan Jepang, sebelum mereka membantai kita di
Surabaya!”.
Hampir tiap hari di depan penjara Koblen tempat serdadu
Jepang ditahan, selalu ramai oleh kerumunan anak muda. Mereka
berteriak-teriak agar orang-orang Jepang yang ada di dalam penjara
dikeluarkan. Beberapa di antara orang Jepang yang berhasil dikeluarga
langsung dieksekusi mati. Para pemimpin pemuda pergerakan bersama TKR
dan KNIP berusaha mencegah tindakan main hakim sendiri.
Suasana
kemudian beralih kepada makin dekatnya jadwal pendaratan tentara Sekutu
di Surabaya. Akhirnya, tanggal 25 Oktober 1945, tentara Sekutu yang
didominasi tentara Inggris mendarat di Tanjung Perak dengan kekuatan
satu brigade. Pasukan yang berjumlah 6.000 orang ini terdiri dari
Brigade Infantri 49 dari divisi India ke-23 , di bawah komando Brigadir
Jenderal Mallaby.
Armada kapal yang merapat di dermaga itu itu
terdiri dari kapal transport bernama: “Wavenley”, “Mlaika”, “Assidios”,
“Floristan” dan beberapa kapal lagi yang dilindungi oleh kapal perang
Inggris.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar