Perjuangan heroik rakyat Indonesia dalam mempertahankan dan
memperjuangkan Kemerdekaannya sungguh tidak bisa diabaikan begitu saja,
mereka bahu membahu dengan segala golongan, mulai dari
petani, pedagang, guru, hingga para pelajar bersama dengan tentara
tanpa mengenal rasa lelah, takut serta kelaparan berjuang menghadapi
desingan peluru serta berondongan persenjataan modern milik para
penjajah.
Sungguh perjuangan yang sangat menguras tenaga dan
airmata, mengorbankan segalanya baik nyawa ataupun harta. Beribu bahkan
berjuta nyawa rakyat Indonesia melayang demi kemerdekaan bangsa ini,
mereka rela menyerahkan nyawanya menjadi martir demi anak cucunya nanti.
Seperti yang terjadi di Ambarawa, sebuah daerah yang terletak di
sebelah selatan kota Semarang-Jawa Tengah, dimana rakyat beserta tentara
Indonesia berjuang mempertahankan daerahnya dari cengkeraman tentara
sekutu yang mencoba membebaskan para tahanan tentara Belanda ( NICA ).
Pada tanggal 20 Oktober 1945, tentara Sekutu di bawah pimpinan Brigadir
Bethell mendarat di Semarang dengan maksud mengurus tawanan perang dan
tentara Jepang yang berada di Jawa Tengah. Kedatangan sekutu ini
diboncengi oleh NICA. Kedatangan Sekutu ini mulanya disambut baik,
bahkan Gubernur Jawa Tegah Mr. Wongsonegoro menyepakati akan menyediakan
bahan makanan dan keperluan lain bagi kelancaran tugas Sekutu, sedang
Sekutu berjanji tidak akan mengganggu kedaulatan Republik Indonesia.
Namun, ketika pasukan Sekutu dan NICA telah sampai di Ambarawa dan
Magelang untuk membebaskan para tawanan tentara Belanda, justru
mempersenjatai mereka sehingga menimbulkan amarah pihak Indonesia.
Insiden bersenjata timbul di kota Magelang, hingga terjadi pertempuran.
Di Magelang, tentara Sekutu bertindak sebagai penguasa yang mencoba
melucuti Tentara Keamanan Rakyat ( TKR ) dan membuat kekacauan. TKR
Resimen Magelang pimpinan M. Sarbini membalas tindakan tersebut dengan
mengepung tentara Sekutu dari segala penjuru. Namun mereka selamat dari
kehancuran berkat campur tangan Presiden Soekarno yang berhasil
menenangkan suasana. Kemudian pasukan Sekutu secara diam-diam
meninggalkan Kota Magelang menuju ke benteng Ambarawa. Akibat peristiwa
tersebut, Resimen Kedu Tengah di bawah pimpinan Letnan Kolonel M.
Sarbini segera mengadakan pengejaran terhadap mereka. Gerakan mundur
tentara Sekutu tertahan di Desa Jambu karena dihadang oleh pasukan
Angkatan Muda di bawah pimpinan Oni Sastrodihardjo yang diperkuat oleh
pasukan gabungan dari Ambarawa, Suruh dan Surakarta.
Sekutu
kembali dihadang oleh Batalyon I Suryosumpeno di Ngipik. Pada saat
pengunduran, tentara Sekutu mencoba menduduki dua desa di sekitar
Ambarawa. Pasukan Indonesia di bawah pimpinan Letnan Kolonel Isdiman
berusaha membebaskan kedua desa tersebut, Letnan Kolonel Isdiman gugur.
Sejak gugurnya Letkol Isdiman, Komandan Divisi V Banyumas, Soedirman
merasa kehilangan perwira terbaiknya dan ia langsung turun ke lapangan
untuk memimpin pertempuran. Kehadiran Kolonel Sudirman memberikan nafas
baru kepada pasukan-pasukan RI. Koordinasi diadakan diantara
komando-komando sektor dan pengepungan terhadap musuh semakin ketat.
Siasat yang diterapkan adalah serangan pendadakan serentak di semua
sektor. Bala bantuan terus mengalir dari Yogyakarta, Solo, Salatiga,
Purwokerto, Magelang, Semarang, dan lain-lain.
Tanggal 23
Nopember 1945 ketika matahari mulai terbit, mulailah tembak-menembak
dengan pasukan Sekutu yang bertahan di kompleks gereja dan pekuburan
Belanda di Jalan Margo Agung. Pasukan Indonesia antara lain dari Yon
Imam Adrongi, Yon Soeharto dan Yon Sugeng. Tentara Sekutu mengerahkan
tawanan-tawanan Jepang dengan diperkuat tanknya, menyusup ke kedudukan
Indonesia dari arah belakang, karena itu pasukan Indonesia pindah ke
Bedono.
Pada tanggal 11 Desember 1945, Kolonel Soedirman
mengadakan rapat dengan para Komandan Sektor TKR dan Laskar. Pada
tanggal 12 Desember 1945 jam 04.30 pagi, serangan mulai dilancarkan.
Pertempuran berkobar di Ambarawa. Satu setengah jam kemudian, jalan raya
Semarang-Ambarawa dikuasai oleh kesatuan-kesatuan TKR. Pertempuran
Ambarawa berlangsung sengit, Kolonel Soedirman langsung memimpin
pasukannya yang menggunakan taktik gelar supit urang, atau pengepungan
rangkap sehingga musuh benar-benar terkurung. Suplai dan komunikasi
dengan pasukan induknya terputus sama sekali. Setelah bertempur selama 4
hari, pada tanggal 15 Desember 1945 pertempuran berakhir dan Indonesia
berhasil merebut Ambarawa dan Sekutu dibuat mundur ke Semarang.
Kedahsyatan Palagan Ambarawa juga tercermin dalam laporan pihak Inggris
yang menulis: “The battle of Ambarawa had been a fierce struggle
between Indonesian troops and Pemuda and, on the other hand, Indian
soldiers, assisted by a Japanese company….” Yang juga ditambahi dengan
kalimat, “The British had bombed Ungaran intensively to open the road
and strafed Ambarawa from air repeatedly. Air raids too had taken place
upon Solo and Yogya, to destroy the local radio stations, from where the
fighting spirit was sustained…”
Kemenangan pertempuran ini kini
diabadikan dengan didirikannya Monumen Palagan Ambarawa dan
diperingatinya Hari Jadi TNI Angkatan Darat atau Hari Juang Kartika.
Dan hingga kini, darah pejuang yang membasahi bumi Ambarawa adalah
bukti dari keteguhan serta pengorbanan untuk mempertahankan harga diri
bangsa yang harus tetap kita pertahankan sampai kapanpun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar