Siapa yang tidak tahu mengenai ketegangan yang terjadi antara 2 negara
tetangga ini? Rasanya sangat tidak mungkin, jika ada orang yang mengaku
tidak tahu ketegangan yang terjadi di antara kedua belah negara ter...sebut.
Begitu banyak konflik yang membuat hubungan Indonesia-Malaysia kian
hari kian memanas. Belum terselesaikan yang satu, muncul lagi kemudian
hal lain yang dapat membuat kedua belah pihak beritegang. Ada apa
gerangan dibalik konflik tersebut?
Pada kenyatannya,ternyata konflik
ini sudah berakar sejak lama, yaitu semenjak jaman pemerintahan
Presiden Soekarno, bahkan mencapai klimaks, ketika Presiden RI Soekarno
saat itu memutuskan hubungan diplomatik dengan Malaysia. Indonesia pada
saat itu melihat Malaysia sebagai antek kolonialisme, yang mendukung
penjajahan di atas muka bumi. Politik luar negeri Indonesia saat itu
memang lebih cenderung pro-Timur, dalam artian pemerintah Indonesia di
bawah pimpinan Soekarno, membenci segala hal yang berbau Barat. Karena
kolonialisme adalah produk Barat, maka Indonesia pun menunjukkan
ketidaksukaannya ketika Malaysia memilih bergabung dengan Inggris.
Sampai saat ini pun, Malaysia, di samping Inggris, Singapura, dan
sejumlah negara lainnya, merupakan anggota negara-negara persemakmuran
Inggris.
Beberapa tahun terakhir, hubungan bilateral
Indonesia-Malaysia “terganggu” dengan klaim Malaysia terhadap
Sipadan-Ligitan. Klaim sepihak pemerintah negeri jiran terhadap Pulau
Sipadan-Ligitan, telah menyebabkan Indonesia kehilangan wilayah
tersebut. Dalam kasus tersebut, kedua negara, Indonesia dan Malaysia
memang saling mengklaim kepemilikan wilayah tersebut. Akhirnya, sebagai
solusi, kasus itu pun dibawa ke Mahkamah Internasional. Sayangnya, pada
tahun 2002 lalu, Indonesia kalah dalam persidangan penentuan kepemilikan
pulau tersebut sehingga pulau itu pun resmi menjadi milik Malaysia.
Belum reda persoalan tersebut, lalu kemudian muncul (lagi) adanya klaim
sepihak pemerintah Malaysia terhadap blok Ambalat yang ada di Laut
Sulawesi. Kasus Ambalat ini bermula dari perlakuan pemerintah Malaysia
yang memberi konsesi kepada perusahaan minyak, Shell untuk melakukan
eksplorasi di Laut Sulawesi. Malaysia mengklaim blok Ambalat yang berada
di perairan Karang Unarang tersebut adalah milik Malaysia. Padahal,
berdasarkan deklarasi Juanda 1957, pulau tersebut milik Indonesia.
Deklarasi Juanda sendiri pada tahun 1959 telah diadopsi oleh PBB ke
dalam Konvensi Hukum Laut. Dengan demikian, PBB pun mengakui kepemilikan
Indonesia atas pulau itu. Sejumlah isu sensitif, khususnya yang
berkaitan dengan teritorial seperti ini berpeluang besar mengganggu
hubungan saudara serumpun itu. Apalagi, masyarakat Indonesia melihat
perilaku Malaysia belakangan ini cenderung melecehkan Indonesia.
Perlakuan pemerintah dan rakyat “Negeri Jiran” tersebut kepada para TKI
kita di sana sungguh merupakan tindakan yang tidak terpuji.
Memang
tidak dapat dipungkiri bahwa kemakmuran ekonomi Malaysia telah membuat
citra negeri tersebut relatif lebih baik. Apalagi, fakta menunjukkan
begitu banyak warga negara kita mengais rezeki di sana sebagai pembantu
rumah tangga dan buruh kasar lainnya. Setidaknya, banyaknya TKI yang
tinggal di sana, membuat pemerintah Malaysia ingin mengatakan bahwa
Malaysia kini lebih maju dari Indonesia. Dan hal inilah yang digunakan
Malaysia untuk berbuat seenaknya, termasuk mungkin dalam kasus Ambalat.
Dibalik semua konflik yang terjadi, kita perlu menyadari bahwa dengan
status “saudara serumpun”, Pemerintah Indonesia dan Malaysia tetap
berupaya untuk menjaga hubungan bilateral kedua belah pihak dengan
meningkatkan kerja sama ekonomi antar kedua negara dan memfokuskan kerja
sama dalam tujuh sektor. Sebagai gambaran, salah satu investor asal
Indonesia yang akan berekspansi ke Malaysia adalah Blue Bird Group.
Mereka sangat berminat untuk berinvestasi ke Malaysia di bisnis
pertaksian dan bahkan sudah melakukan joint venture company dengan satu
perusahaan Malaysia. Keberhasilan Blue Bird dalam mengelola bisnis
layanan transportasi di Indonesia bisa dijadikan standar (benchmark)
bisnis serupa di Malaysia. Selain itu pihaknya juga berharap investasi
Indonesia di Malaysia akan semakin meningkat terutama di sektor
pariwisata dan manufaktur.
Melihat upaya yang dilakukan oleh
Presiden RI dengan tetap menjalin kerjasama bilateral dengan pemerintah
Malaysia mungkin menimbulkan banyak tanda tanya di benak kita, di satu
sisi pemerintah tetap mempertahankan hubungan bilateral kedua negara
dengan maksud untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, namun di sisi
lain, pemerintah juga seolah-olah “melupakan” nasib para TKI yang sudah
dilecehkan sesuka hati “rakyat Jiran” di sana. Memang benar bahwa saat
ini Malaysia jauh lebih maju dibandingkan Indonesia, dan pasti banyak
hal yang dapat kita pelajari dari mereka. Tapi bukan berarti pemerintah
justru malah mengabaikan setiap konflik yang terjadi tanpa melakukan
tindakan yang tegas dan konkret demi membela harkat dan martabat bangsa.
Disinilah presiden RI harusnya dapat menunjukkan peranannya sebagai
kepala negara dan kepala pemerintahan supaya konflik ini tidak terus
terjadi turun temurun sampai anak cucu kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar