Selasa, 14 Agustus 2012

Gurkha (Suku yang Terlahir Untuk Berperang)

Gurkha sebenarnya bukanlah Special Force, namun mereka dikenal dengan reputasinya yang menakutkan. Ada 2 suku di Nepal yang dikenal masyarakat luas, yaitu Sherpa yang dikenal se
bagai suku pendaki / pemandu di Himalaya, satu lagi Gurkha, yang gemar berperang.

Semasa zaman kolonial sewaktu terjadi Perang di Nepal, Inggris begitu terkesan atas kegigihan dari pasukan Gurkha kemudian merekrut mereka bekerja untuk East India Company di India dan British Army. Gurkha terkenal dengan kemampuan berperangnya yang alamiah, agresif di medan pertempuran, tidak takut mati, loyalitas yang tinggi, tahan dalam berbagai medan, fisik yang kuat dan pekerja keras. Sehingga Gurkha begitu disegani oleh kawan, ditakuti oleh lawan.

Semula mereka menjadi tentara bayaran (mercenaries) akhirnya masuk dalam jajaran British Army yang digaji layaknya tentara Inggris sendiri atau legiun asing pada umumnya. Mereka mempunyai unit sendiri dengan nama Brigade of Gurkha sebagai salah satu bagian dari jajaran top angkatan bersenjata Inggris.

Dibentuk sejak tahun 1815, Pasukan Gurkha telah terlibat dalam berbagai medan pertempuran bersama Inggris. Ketika berkecamuk PD I sebanyak 100.000 prajurit Gurkha masuk dalam Brigade of Gurkha. Mereka ikut bertempur di medan perang Perancis, Mesopotamia, Persia, Mesir, Gallipoli, Palestina dan Salonika. Mereka mendapatkan 2 penghargaan bergengsi Victoria Crosses.

Pada PD II sebanyak 112.000 tentara Gurkha bersama Pasukan aliansi Commonwealth bahu membahu dalam perang di Suriah, Afrika Utara, Italia dan Yunani sampai Malaysia dan Singapura mereka mendapat 10 Victoria Crosses. Seiring dengan pengalaman tempurnya yang mengunung, Gurkha menjelma menjadi kekuatan yang mengerikan, bahkan melebihi pasukan elit sekalipun.

Semasa berkecamuk perang Malvinas (Falkland War, 1982), dalam suatu front pertempuran, Inggris mempropagandakan kepada pihak militer Argentina akan menyertakan 1 batalyon Gurkha-nya. Mendengar itu tentara Argentina lari tunggang langgang meninggalkan pos-pos mereka.

Sewaktu PD II di front pertempuran Tunisia (Afrika Utara), pasukan Gurkha yg sudah kehabisan amunisi lalu membuang senapan-senapan mereka, berlarian naik ke atas tank-tank Jerman di tengah-tengah hujan peluru dan menggorok tentara Jerman dengan senjata tradisional mereka, khukri.

Khukri adalah sejenis pisau yang berbentuk unik sedikit melengkung mengarah ke depan. Di disain khusus sedemikian rupa, sehingga dapat menebas leher dengan sekali babatan bersih. Ada sedikit cerita mengenai khukri, sekali khukri dihunus dari sarangnya pantang tidak meminum darah. Itulah sebabnya tentara Gurkha ketika sehabis mengasah / membersihkan khukri selalu mengiris jari tangannya.

Saat ini bukan hanya Inggris yang merekrut Gurkha dalam jajaran pasukannya, Singapura, India, Malaysia, Brunei, Hongkong (sebelum penyerahan ke RRC) tercatat memakai Gurkha dalam kesatuan angkatan bersenjata mereka. Bahkan di Brunei, Gurkha dipakai sebagai Special Force Penjaga Sultan Brunei.

Tapi dibalik cerita hebat yang disandang oleh pasukan ini, ternyata Gurkha juga memiliki sedikit cerita yg memalukan tentang dirinya dan kejadian ini rupanya terjadi di Surabaya, Indonesia. Pada saat mendarat pertama kali di Surabaya, ada kesepakatan antara Brigjen Mallaby dengan para pemimpin arek-arek Suroboyo bahwa pasukan Inggris hanya diijinkan paling jauh 800 meter dari pelabuhan dalam upaya mereka mengurus tawanan perang Jepang. Namun ternyata kesepakatan ini dilanggar oleh Mallaby. Mungkin Mallaby menganggap remeh pemerintahan Indonesia di Surabaya. Maka tidak dapat dihindari lagi, terjadi gesekan-gesekan dilapangan antara para pejuang Indonesia dengan pasukan Inggris.

Pasukan Inggris, terutama Gurkha dan Pasukan India yang non-muslim (karena ada juga pasukan India Muslim yang kelak menjadi Pakistan dan sering membantu arek-arek Suroboyo dengan memberi senjata dan amunisi), seringkali bertindak kurang ajar dan kejam terhadap arek-arek Suroboyo. Sering sekali mereka melakukan sweeping dan kemudian merampas senjata-senjata yang dibawa oleh arek-arek Suroboyo saat bertemu dijalan. Bahkan jika ada arek Suroboyo yang menolak menyerahkan senjatanya, pasukan Inggris main tembak saja.

Akibatnya, kemarahan para pejuang kian tinggi sehingga diputuskan untuk menyerang pos-pos pasukan Inggris, terutama yang berada di area di luar jarak 800 meter sesuai kesepakatan (sungguh fair play arek-arek Suroboyo itu, meski dibuat marah, mereka masih menghormati kesepakatan yang dibuat oleh para pemimpinnya). Arek-arek Suroboyo yang marah menyerang seluruh pos pasukan Inggris, termasuk Gurkha. Arek-arek Suroboyo nampaknya punya perhitungan tersendiri terhadap pasukan Gurkha ini. Mereka inilah yang paling kurang ajar dan paling kejam diantara pasukan Inggris. Sebagian arek-arek Surabaya tahu reputasi dan pengalaman tempur Gurkha, tapi tidak ada rasa takut atau segan sedikitpun untuk bertempur melawan pasukan Gurkha. Clurit orang Madura tidak kalah mematikan dengan pisau kukri Gurkha.

Sejarah kemudian mencatat, pos-pos pasukan Inggris itu dibuat morat-marit. Pertahanan mereka jebol dimana-mana akibat gelombang serangan arek-arek Suroboyo yang bertempur dengan ganas. Pasukan Inggris yang masih selamat lari terbirit-birit kembali ke induk pasukan untuk menyelamatkan diri. Bahkan dengan meninggalkan jenasah teman-teman mereka. Naas bagi jenasah pasukan Gurkha yang tidak sempat dievakuasi. Sebagian arek-arek Suroboyo, mungkin karena situasi yang panas dan dendam yang membara, membuang sebagian jenasah pasukan Gurkha itu ke Kali Mas. Belum cukup disitu, sebagian arek-arek Suroboyo itu kemudian menjadikan jenasah yang terapung di kali itu sebagai titis-titisan (sasaran untuk latihan menembak).

Apa boleh buat, itulah peperangan yang akan selalu ada sisi-sisi kekejaman. Pasukan Gurkha telah menuai buah pahit dari bibit kekejaman dan permusuhan yang mereka tebar di Surabaya. Gurkha boleh saja membanggakan reputasi tempur mereka saat melawan Jepang dan Jerman Nazi, tapi saat melawan arek-arek Suroboyo yang mereka ejek dengan sebutan “mob” atau milisi kelas Tiga, hanya tinta kelam memalukan yang mereka torehkan. Bangga saya dijadi arek suroboyo ^^


Semoga Bermanfaat^^

#SEJARAH PERISTIWA BANDUNG LAUTAN API#

Peristiwa Bandung Lautan Api adalah peristiwa kebakaran besar yang terjadi di kota Bandung, provinsi Jawa Barat, Indonesia pada 24 Maret 1946. Dalam waktu tujuh jam, sekitar 200.000 penduduk Bandung
membakar rumah mereka, meninggalkan kota menuju pegunungan di daerah selatan Bandung. Hal ini dilakukan untuk mencegah tentara Sekutu dan tentara NICA Belanda untuk dapat menggunakan kota Bandung sebagai markas strategis militer dalam Perang Kemerdekaan Indonesia.

LATAR BELAKANG

Pasukan Inggris bagian dari Brigade MacDonald tiba di Bandung pada tanggal 12 Oktober 1945. Sejak semula hubungan mereka dengan pemerintah RI sudah tegang. Mereka menuntut agar semua senjata api yang ada di tangan penduduk, kecuali TKR dan polisi, diserahkan kepada mereka. Orang-orang Belanda yang baru dibebaskan dari kamp tawanan mulai melakukan tindakan-tindakan yang mulai mengganggu keamanan. Akibatnya, bentrokan bersenjata antara Inggris dan TKR tidak dapat dihindari. Malam tanggal 24 November 1945, TKR dan badan-badan perjuangan melancarkan serangan terhadap kedudukan-kedudukan Inggris di bagian utara, termasuk Hotel Homann dan Hotel Preanger yang mereka gunakan sebagai markas. Tiga hari kemudian, MacDonald menyampaikan ultimatum kepada Gubernur Jawa Barat agar Bandung Utara dikosongkan oleh penduduk Indonesia, termasuk pasukan bersenjata.

Ultimatum Tentara Sekutu agar Tentara Republik Indonesia (TRI, TNI kala itu) meninggalkan kota Bandung mendorong TRI untuk melakukan operasi "bumihangus". Para pejuang pihak Republik Indonesia tidak rela bila Kota Bandung dimanfaatkan oleh pihak Sekutu dan NICA. Keputusan untuk membumihanguskan Bandung diambil melalui musyawarah Madjelis Persatoean Perdjoangan Priangan (MP3) di hadapan semua kekuatan perjuangan pihak Republik Indonesia, pada tanggal 24 Maret 1946. Kolonel Abdoel Haris Nasoetion selaku Komandan Divisi III TRI mengumumkan hasil musyawarah tersebut dan memerintahkan evakuasi Kota Bandung.[rujukan?] Hari itu juga, rombongan besar penduduk Bandung mengalir panjang meninggalkan kota Bandung dan malam itu pembakaran kota berlangsung.

Bandung sengaja dibakar oleh TRI dan rakyat setempat dengan maksud agar Sekutu tidak dapat menggunakan Bandung sebagai markas strategis militer. Di mana-mana asap hitam mengepul membubung tinggi di udara dan semua listrik mati. Tentara Inggris mulai menyerang sehingga pertempuran sengit terjadi. Pertempuran yang paling besar terjadi di Desa Dayeuhkolot, sebelah selatan Bandung, di mana terdapat gudang amunisi besar milik Tentara Sekutu. Dalam pertempuran ini Muhammad Toha dan Ramdan, dua anggota milisi BRI (Barisan Rakjat Indonesia) terjun dalam misi untuk menghancurkan gudang amunisi tersebut. Muhammad Toha berhasil meledakkan gudang tersebut dengan dinamit. Gudang besar itu meledak dan terbakar bersama kedua milisi tersebut di dalamnya. Staf pemerintahan kota Bandung pada mulanya akan tetap tinggal di dalam kota, tetapi demi keselamatan mereka, maka pada pukul 21.00 itu juga ikut dalam rombongan yang mengevakuasi dari Bandung. Sejak saat itu, kurang lebih pukul 24.00 Bandung Selatan telah kosong dari penduduk dan TRI. Tetapi api masih membubung membakar kota, sehingga Bandung pun menjadi lautan api.

Pembumihangusan Bandung tersebut dianggap merupakan strategi yang tepat dalam Perang Kemerdekaan Indonesia karena kekuatan TRI dan milisi rakyat tidak sebanding dengan kekuatan pihak Sekutu dan NICA yang berjumlah besar. Setelah peristiwa tersebut, TRI bersama milisi rakyat melakukan perlawanan secara gerilya dari luar Bandung. Peristiwa ini mengilhami lagu Halo, Halo Bandung yang nama penciptanya masih menjadi bahan perdebatan.

Beberapa tahun kemudian, lagu "Halo, Halo Bandung" secara resmi ditulis, menjadi kenangan akan emosi yang para pejuang kemerdekaan Republik Indonesia alami saat itu, menunggu untuk kembali ke kota tercinta mereka yang telah menjadi lautan api.


ASAL ISTILAH

Istilah Bandung Lautan Api menjadi istilah yang terkenal setelah peristiwa pembumihangusan tersebut. Jenderal A.H Nasution adalah Jenderal TRI yang dalam pertemuan di Regentsweg (sekarang Jalan Dewi Sartika), setelah kembali dari pertemuannya dengan Sutan Sjahrir di Jakarta, memutuskan strategi yang akan dilakukan terhadap Kota Bandung setelah menerima ultimatum Inggris tersebut.

"Jadi saya kembali dari Jakarta, setelah bicara dengan Sjahrir itu. Memang dalam pembicaraan itu di Regentsweg, di pertemuan itu, berbicaralah semua orang. Nah, disitu timbul pendapat dari Rukana, Komandan Polisi Militer di Bandung. Dia berpendapat, “Mari kita bikin Bandung Selatan menjadi lautan api.” Yang dia sebut lautan api, tetapi sebenarnya lautan air." - A.H Nasution, 1 Mei 1997

Istilah Bandung Lautan Api muncul pula di harian Suara Merdeka tanggal 26 Maret 1946. Seorang wartawan muda saat itu, yaitu Atje Bastaman, menyaksikan pemandangan pembakaran Bandung dari bukit Gunung Leutik di sekitar Pameungpeuk, Garut. Dari puncak itu Atje Bastaman melihat Bandung yang memerah dari Cicadas sampai dengan Cimindi.

Setelah tiba di Tasikmalaya, Atje Bastaman dengan bersemangat segera menulis berita dan memberi judul "Bandoeng Djadi Laoetan Api". Namun karena kurangnya ruang untuk tulisan judulnya, maka judul berita diperpendek menjadi "Bandoeng Laoetan Api". (DS/4)

SEMOGA BERMANFAAT DAN MENAMBAH WAWASAN ANDA :)

#BIOGRAFI BUNG TOMO - PEMBAKAR SEMANGAT RAKYAT SURABAYA#

Sutomo atau Bung Tomo lahir di Surabaya, Jawa Timur, 3 Oktober 1920, Sutomo dilahirkan di Kampung Blauran, di pusat kota Surabaya. Ayahnya bernama Kartawan Tjiptowidjojo, seorang kepala keluarga dari kelas menengah. Ia pernah bekerja sebagai pegawai pemerintahan, sebagai staf pribadi di sebuah perusahaan swasta, sebagai asisten di kantor pajak pemerintah, dan pegawai kecil di perusahan ekspor-impor Belanda. Ia mengaku mempunyai pertalian darah dengan beberapa pendamping dekat Pangeran Diponegoro yang dikebumikan di Malang. Ibunya berdarah campuran Jawa Tengah, Sunda, dan Madura.

Ayahnya adalah seorang serba bisa. Ia pernah bekerja sebagai polisi di kotapraja, dan pernah pula menjadi anggota Sarekat Islam, sebelum ia pindah ke Surabaya dan menjadi distributor lokal untuk perusahaan mesin jahit Singer. Sutomo dibesarkan di rumah yang sangat menghargai pendidikan. Ia berbicara dengan terus terang dan penuh semangat. Ia suka bekerja keras untuk memperbaiki keadaan. Pada usia 12 tahun, ketika ia terpaksa meninggalkan pendidikannya di MULO, Sutomo melakukan berbagai pekerjaan kecil-kecilan untuk mengatasi dampak depresi yang melanda dunia saat itu. Belakangan ia menyelesaikan pendidikan HBS-nya lewat korespondensi, namun tidak pernah resmi lulus.

Sutomo kemudian bergabung dengan KBI (Kepanduan Bangsa Indonesia). Belakangan Sutomo menegaskan bahwa filsafat kepanduan, ditambah dengan kesadaran nasionalis yang diperolehnya dari kelompok ini dan dari kakeknya, merupakan pengganti yang baik untuk pendidikan formalnya. Pada usia 17 tahun, ia menjadi terkenal ketika berhasil menjadi orang kedua di Hindia Belanda yang mencapai peringkat Pandu Garuda. Sebelum pendudukan Jepang pada 1942, peringkat ini hanya dicapai oleh tiga orang Indonesia.

Sutomo pernah menjadi seorang jurnalis yang sukses. Kemudian ia bergabung dengan sejumlah kelompok politik dan sosial. Ketika ia terpilih pada 1944 untuk menjadi anggota Gerakan Rakyat Baru yang disponsori Jepang, hampir tak seorang pun yang mengenal dia. Namun semua ini mempersiapkan Sutomo untuk peranannya yang sangat penting, ketika pada Oktober dan November 1945, ia menjadi salah satu Pemimpin yang menggerakkan dan membangkitkan semangat rakyat Surabaya, yang pada waktu itu Surabaya diserang habis-habisan oleh tentara-tentara NICA. Sutomo terutama sekali dikenang karena seruan-seruan pembukaannya di dalam siaran-siaran radionya yang penuh dengan emosi. Meskipun Indonesia kalah dalam Pertempuran 10 November itu, kejadian ini tetap dicatat sebagai salah satu peristiwa terpenting dalam sejarah Kemerdekaan Indonesia.

 Setelah kemerdekaan Indonesia, Sutomo sempat terjun dalam dunia politik pada tahun 1950-an, namun ia tidak merasa bahagia dan kemudian menghilang dari panggung politik. Pada akhir masa pemerintahan Soekarno dan awal pemerintahan Suharto yang mula-mula didukungnya, Sutomo kembali muncul sebagai tokoh nasional.

Padahal, berbagai jabatan kenegaraan penting pernah disandang Bung Tomo. Ia pernah menjabat Menteri Negara Urusan Bekas Pejuang Bersenjata/Veteran sekaligus Menteri Sosial Ad Interim pada 1955-1956 di era Kabinet Perdana Menteri Burhanuddin Harahap. Bung Tomo juga tercatat sebagai anggota DPR pada 1956-1959 yang mewakili Partai Rakyat Indonesia. Namun pada awal 1970-an, ia kembali berbeda pendapat dengan pemerintahan Orde Baru. Ia berbicara dengan keras terhadap program-program Suharto sehingga pada 11 April 1978 ia ditahan oleh pemerintah Indonesia yang tampaknya khawatir akan kritik-kritiknya yang keras. Baru setahun kemudian ia dilepaskan oleh Suharto. Meskipun semangatnya tidak hancur di dalam penjara, Sutomo tampaknya tidak lagi berminat untuk bersikap vokal.

Ia masih tetap berminat terhadap masalah-masalah politik, namun ia tidak pernah mengangkat-angkat peranannya di dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Ia sangat dekat dengan keluarga dan anak-anaknya, dan ia berusaha keras agar kelima anaknya berhasil dalam pendidikannya. Sutomo sangat bersungguh-sungguh dalam kehidupan imannya, namun tidak menganggap dirinya sebagai seorang Muslim saleh, ataupun calon pembaharu dalam agama. Pada 7 Oktober 1981 ia meninggal dunia di Padang Arafah, ketika sedang menunaikan ibadah haji. Berbeda dengan tradisi untuk memakamkan para jemaah haji yang meninggal dalam ziarah ke tanah suci, jenazah Bung Tomo dibawa kembali ke tanah air dan dimakamkan bukan di sebuah Taman Makam Pahlawan, melainkan di Tempat Pemakaman Umum Ngagel di Surabaya.

bung tomo, pahlawan, biografi
Setelah pemerintah didesak oleh Gerakan Pemuda (GP) Ansor dan Fraksi Partai Golkar (FPG) agar memberikan gelar pahlawan kepada Bung Tomo pada 9 November 2007. Akhirnya gelar pahlawan nasional diberikan ke Bung Tomo bertepatan pada peringatan Hari Pahlawan tanggal 10 November 2008. Keputusan ini disampaikan oleh Menteri Komunikasi dan Informatika Kabinet Indonesia Bersatu, Muhammad Nuh pada tanggal 2 November 2008 di Jakarta. (DS/9)

Andai Jokowi Jadi PRESIDEN

Berikut ini adalah pengandai-andaian saya jika Jokowi terpilih menjadi presiden RI.

1. Jokowi tidak akan mengeluh kepada para perwira soal gajinya yang tidak naik-naik, seperti yang pernah dilakukan oleh SBY. Ma
lah mungkin Jokowi akan menolak digaji, seperti ketika ia menjabat sebagai walikota. Selama dua periode Jokowi tidak mengambil gajinya, padahal gaji itu adalah haknya. Gaji saja tidak diambil, apalagi soal kenaikan gaji. Tentulah tak terpikirkan olehnya. Jokowi tidak mengeluh atau mengadu ke publik.

2. Jokowi tidak akan sibuk menuntut diadakannya pesawat RI-1 yang baru, seperti di jamannya SBY. Ini didasarkan sikapnya menolak fasilitas kendaraan yang dianggarkan anggota dewan. Jokowi memilih mobil warisan walikota dua periode lalu, Bapak Slamet Suryanto. “Saya bukan sok, tapi saya memang orang nggak punyai birahi terhadap mobil baru… Pokoknya saya naik dan selamat saja.” Demikian ungkap Jokowi. Malahan akhirnya Jokowi memilih mobil ESEMKA, buatan siswa-siswi SMK, yang sekarang lagi diuji untuk mendapat hak paten.

Tentulah sikap rendah hatinya ini akan tetap bertahan ketika ia menjadi presiden. Kalau pada masa pemerintahan SBY, ada wacana pengadaan pesawat RI-1 yang terbilang mewah, dan SBY menunjukkan sikap malu tapi mau. Jika Jokowi jadi presiden, dia akan langsung menghentikan wacana ini dan tetap bertahan dengan pesawat yang lama. Malahan bisa jadi ia akan menggunakan pesawat buatan PT Dirgantara Indonesia.

3. Jokowi akan tidak memakai pengawalan yang protokoler, tidak seperti SBY saat ini yang kalau pulang ke Cikeas tentu akan menimbulkan kemacetan karena banyaknya pengawal yang mengiringinya. Jokowi akan santai saja. Ke mana pun ia pergi, tidak akan membawa pengawal yang berlebihan. Ini sudah terbukti ketika ia menjadi Walikota Solo. Dengan mudah Jokowi menemui rakyatnya dan menyalami mereka tanpa ada “tameng” dari para pengawalnya.

4. Jokowi akan lebih banyak waktunya bersama dengan rakyatnya. Ketika menjadi Walikota Solo, Jokowi memiliki prinsip ini “1 jam di belakang meja, 8 jam di tengah rakyat.” Saya yakin prinsip ini akan bertahan ketika ia menjadi presiden. Dan prinsip ini akan berkembang menjadi kehadirannya di tengah masyarakat Indonesia lebih banyak ketimbang pergi ke luar negeri. Kalau SBY, lebih banyak di belakang meja dan banyak juga ke luar negeri.

5. Grafik kepemimpinan Jokowi periode kedua akan naik, sama seperti waktu ia menjabat Walikota Solo. Naiknya grafik kepemimpinan ini disebabkan karena ia konsisten dengan perjuangan. Ini juga menunjukkan integritasnya sebagai seorang pemimpin. Nah, hal ini tentu akan terjadi juga ketika ia menjadi presiden dan jika terpilih lagi untuk periode kedua. Tidak seperti SBY. Pada periode pertama saja popularitasnya naik, namun pada periode kedua ini turun drastis. Hal ini disebabkan inkonsistensi dan tidak adanya integritas dalam kepemimpinan SBY.

6. Pada waktu menjadi Walikota Solo, Jokowi berani melawan atasannya (gubernur) berkaitan dengan pendirian pasar modern milik provinsi. Di sini Jokowi mau membela kepentingan rakyat kecil dan melindungi mereka dari para konglomerasi. Nah, sikap ini juga nanti akan ditunjukkan Jokowi saat ia menjadi presiden. Jokowi akan tegas dalam membela rakyat kecil, tidak mau kalah dengan tekanan para pemodal serta konglomerasi atau tekanan kekuatan lain. Tidak seperti SBY yang justru mengorbankan rakyat kecil demi kaum pemodal dan para konglomerasi atau kekuatan lain.

Salah satu contohnya, seandainya Jokowi naik jadi presiden, pasti ia akan menekan Aburizal Bakrie untuk segera menuntaskan kasus lumpur Lapindo, tanpa melibatkan dana negara.

Demikianlah pengandai-andaian saya jika Bapak Joko Widodo menjadi presiden. Pengandaian ini belumlah 100% akan terjadi. Namanya juga pengandaian. Ramalan cuaca saja selalu meleset dari perkiraan, apalagi pengandaian dalam dunia politik.

Akan tetapi, untuk pembuktian pengandaian ini, maka sudah selayaknya kalau Jokowi diajukan menjadi calon presiden pemilu 2014 yang akan datang. Dan ini dengan catatan mayoritas rakyat harus mendukungnya.

Senin, 13 Agustus 2012

Perancang Lambang Garuda Pancasila Yang Terlupakan

Siapa tak kenal burung Garuda berkalung perisai yang merangkum lima sila (Pancasila). Tapi orang Indonesia mana sajakah yang tahu, siapa pembuat lambang negara itu dulu? Dia adalah Sultan Hamid II, yang terlahir dengan nama Syarif Abdul Hamid Alkadrie, putra sulung Sultan Pontianak; Sultan Syarif Muhammad Alkadrie. Lahir di Pontianak tanggal 12 Juli 1913.

Dalam tubuhnya mengalir darah Indonesia, Arab –walau pernah diurus ibu asuh berkebangsaan Inggris. Istri beliau seorang perempuan Belanda yang kemudian melahirkan dua anak –keduanya sekarang di Negeri Belanda.

Syarif Abdul Hamid Alkadrie menempuh pendidikan ELS di Sukabumi, Pontianak, Yogyakarta, dan Bandung. HBS di Bandung satu tahun, THS Bandung tidak tamat, kemudian KMA di Breda, Negeri Belanda hingga tamat dan meraih pangkat letnan pada kesatuan tentara Hindia Belanda.

Ketika Jepang mengalahkan Belanda dan sekutunya, pada 10 Maret 1942, ia tertawan dan dibebaskan ketika Jepang menyerah kepada Sekutu dan mendapat kenaikan pangkat menjadi kolonel. Ketika ayahnya mangkat akibat agresi Jepang, pada 29 Oktober 1945 dia diangkat menjadi Sultan Pontianak menggantikan ayahnya dengan gelar Sultan Hamid II. Dalam perjuangan federalisme, Sultan Hamid II memperoleh jabatan penting sebagai wakil Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) berdasarkan konstitusi RIS 1949 dan selalu turut dalam perundingan-perundingan Malino, Denpasar, BFO, BFC, IJC dan KMB di Indonesia dan Belanda.

Sultan Hamid II kemudian memperoleh jabatan Ajudant in Buitenfgewone Dienst bij HN Koningin der Nederlanden, yakni sebuah pangkat tertinggi sebagai asisten ratu Kerajaan Belanda dan orang Indonesia pertama yang memperoleh pangkat tertinggi dalam kemiliteran. Pada 21-22 Desember 1949, beberapa hari setelah diangkat menjadi Menteri Negara Zonder Porto Folio, Westerling yang telah melakukan makar di Tanah Air menawarkan “over commando” kepadanya, namun dia menolak tegas. Karena tahu Westerling adalah gembong APRA. Selanjutnya dia berangkat ke Negeri Belanda, dan pada 2 Januari 1950, sepulangnya dari Negeri Kincir itu dia merasa kecewa atas pengiriman pasukan TNI ke Kalbar – karena tidak mengikutsertakan anak buahnya dari KNIL.

Pada saat yang hampir bersamaan, terjadi peristiwa yang menggegerkan; Westerling menyerbu Bandung pada 23 Januari 1950. Sultan Hamid II tidak setuju dengan tindakan anak buahnya itu, Westerling sempat di marah. Sewaktu Republik Indonesia Serikat dibentuk, dia diangkat menjadi Menteri Negara Zonder Porto Folio dan selama jabatan menteri negara itu ditugaskan Presiden Soekarno merencanakan, merancang dan merumuskan gambar lambang negara. Dari transkrip rekaman dialog Sultan Hamid II dengan Masagung (1974) sewaktu penyerahan file dokumen proses perancangan lambang negara, disebutkan “ide perisai Pancasila” muncul saat Sultan Hamid II sedang merancang lambang negara.

Dia teringat ucapan Presiden Soekarno, bahwa hendaknya lambang negara mencerminkan pandangan hidup bangsa, dasar negara Indonesia, di mana sila-sila dari dasar negara, yaitu Pancasila divisualisasikan dalam lambang negara. Tanggal 10 Januari 1950 dibentuk Panitia Teknis dengan nama Panitia Lencana Negara di bawah koordinator Menteri Negara Zonder Porto Folio Sultan Hamid II dengan susunan panitia teknis M Yamin sebagai ketua, Ki Hajar Dewantoro, M A Pellaupessy, Moh Natsir, dan RM Ng Purbatjaraka sebagai anggota. Panitia ini bertugas menyeleksi usulan rancangan lambang negara untuk dipilih dan diajukan kepada pemerintah. Merujuk keterangan Bung Hatta dalam buku “Bung Hatta Menjawab” untuk melaksanakan Keputusan Sidang Kabinet tersebut Menteri Priyono melaksanakan sayembara. Terpilih dua rancangan lambang negara terbaik, yaitu karya Sultan Hamid II dan karya M Yamin. Pada proses selanjutnya yang diterima pemerintah dan DPR RIS adalah rancangan Sultan Hamid II. Karya M Yamin ditolak karena menyertakan sinar-sinar matahari dan menampakkan pengaruh Jepang. Setelah rancangan terpilih, dialog intensif antara perancang (Sultan Hamid II), Presiden RIS Soekarno dan Perdana Menteri Mohammad Hatta, terus dilakukan untuk keperluan penyempurnaan rancangan itu. Terjadi kesepakatan mereka bertiga, mengganti pita yang dicengkeram Garuda, yang semula adalah pita merah putih menjadi pita putih dengan menambahkan semboyan “Bhineka Tunggal Ika”. Tanggal 8 Februari 1950, rancangan final lambang negara yang dibuat Menteri Negara RIS, Sultan Hamid II diajukan kepada Presiden Soekarno. Rancangan final lambang negara tersebut mendapat masukan dari Partai Masyumi untuk dipertimbangkan, karena adanya keberatan terhadap gambar burung garuda dengan tangan dan bahu manusia yang memegang perisai dan dianggap bersifat mitologis.

Sultan Hamid II kembali mengajukan rancangan gambar lambang negara yang telah disempurnakan berdasarkan aspirasi yang berkembang, sehingga tercipta bentuk Rajawali-Garuda Pancasila. Disingkat Garuda Pancasila. Presiden Soekarno kemudian menyerahkan rancangan tersebut kepada Kabinet RIS melalui Moh Hatta sebagai perdana menteri. AG Pringgodigdo dalam bukunya “Sekitar Pancasila” terbitan Dep Hankam, Pusat Sejarah ABRI menyebutkan, rancangan lambang negara karya Sultan Hamid II akhirnya diresmikan pemakaiannya dalam Sidang Kabinet RIS. Ketika itu gambar bentuk kepala Rajawali Garuda Pancasila masih “gundul” dan “tidak berjambul” seperti bentuk sekarang ini. Inilah karya kebangsaan anak-anak negeri yang diramu dari berbagai aspirasi dan kemudian dirancang oleh seorang anak bangsa, Sultan Hamid II Menteri Negara RIS.

Presiden Soekarno kemudian memperkenalkan untuk pertama kalinya lambang negara itu kepada khalayak umum di Hotel Des Indes Jakarta pada 15 Februari 1950. Penyempurnaan kembali lambang negara itu terus diupayakan. Kepala burung Rajawali Garuda Pancasila yang “gundul” menjadi “berjambul” dilakukan. Bentuk cakar kaki yang mencengkram pita dari semula menghadap ke belakang menjadi menghadap ke depan juga diperbaiki, atas masukan Presiden Soekarno. Tanggal 20 Maret 1950, bentuk final gambar lambang negara yang telah diperbaiki mendapat disposisi Presiden Soekarno, yang kemudian memerintahkan pelukis istana, Dullah, untuk melukis kembali rancangan tersebut sesuai bentuk final rancangan Menteri Negara RIS Sultan Hamid II yang dipergunakan secara resmi sampai saat ini.

Untuk terakhir kalinya, Sultan Hamid II menyelesaikan penyempurnaan bentuk final gambar lambang negara, yaitu dengan menambah skala ukuran dan tata warna gambar lambang negara di mana lukisan otentiknya diserahkan kepada H Masagung, Yayasan Idayu Jakarta pada 18 Juli 1974 Rancangan terakhir inilah yang menjadi lampiran resmi PP No 66 Tahun 1951 berdasarkan pasal 2 Jo Pasal 6 PP No 66 Tahun 1951. Sedangkan Lambang Negara yang ada disposisi Presiden Soekarno dan foto gambar lambang negara yang diserahkan ke Presiden Soekarno pada awal Februari 1950 masih tetap disimpan oleh Kraton Kadriyah Pontianak. Sultan Hamid II wafat pada 30 Maret 1978 di Jakarta dan dimakamkan di pemakaman Keluarga Kesultanan Pontianak di Batulayang.

Turiman SH M.Hum, Dosen Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura Pontianak yang mengangkat sejarah hukum lambang negara RI sebagai tesis demi meraih gelar Magister Hukum di Universitas Indonesia, menjelaskan bahwa hasil penelitiannya tersebut bisa membuktikan bahwa Sultan Hamid II adalah perancang lambang negara. “Satu tahun yang melelahkan untuk mengumpulkan semua data. Dari tahun 1998-1999,” akunya. Yayasan Idayu Jakarta, Yayasan Masagung Jakarta, Badan Arsip Nasional, Pusat Sejarah ABRI dan tidak ketinggalan Keluarga Istana Kadariah Pontianak, merupakan tempat-tempat yang paling sering disinggahinya untuk mengumpulkan bahan penulisan tesis yang diberi judul Sejarah Hukum Lambang Negara RI (Suatu Analisis Yuridis Normatif Tentang Pengaturan Lambang Negara dalam Peraturan Perundang-undangan). Di hadapan dewan penguji, Prof Dr M Dimyati Hartono SH dan Prof Dr H Azhary SH dia berhasil mempertahankan tesisnya itu pada hari Rabu 11 Agustus 1999. “Secara hukum, saya bisa membuktikan. Mulai dari sketsa awal hingga sketsa akhir. Garuda Pancasila adalah rancangan Sultan Hamid II,” katanya pasti. Besar harapan masyarakat Kal-Bar dan bangsa Indonesia kepada Presiden RI SBY untuk memperjuangkan karya anak bangsa tersebut, demi pengakuan sejarah, sebagaimana janji beliau ketika berkunjung ke Kal-Bar dihadapan tokoh masyarakat, pemerintah daerah dan anggota DPRD Provinsi Kal-Bar

 http://a3.sphotos.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-ash4/428898_270421666403958_1891690333_n.jpg

Palagan Ambarawa 12-15 Desember 1945

Perjuangan heroik rakyat Indonesia dalam mempertahankan dan memperjuangkan Kemerdekaannya sungguh tidak bisa diabaikan begitu saja, mereka bahu membahu dengan segala golongan, mulai dari petani, pedagang, guru, hingga para pelajar bersama dengan tentara tanpa mengenal rasa lelah, takut serta kelaparan berjuang menghadapi desingan peluru serta berondongan persenjataan modern milik para penjajah.

Sungguh perjuangan yang sangat menguras tenaga dan airmata, mengorbankan segalanya baik nyawa ataupun harta. Beribu bahkan berjuta nyawa rakyat Indonesia melayang demi kemerdekaan bangsa ini, mereka rela menyerahkan nyawanya menjadi martir demi anak cucunya nanti.

Seperti yang terjadi di Ambarawa, sebuah daerah yang terletak di sebelah selatan kota Semarang-Jawa Tengah, dimana rakyat beserta tentara Indonesia berjuang mempertahankan daerahnya dari cengkeraman tentara sekutu yang mencoba membebaskan para tahanan tentara Belanda ( NICA ).

Pada tanggal 20 Oktober 1945, tentara Sekutu di bawah pimpinan Brigadir Bethell mendarat di Semarang dengan maksud mengurus tawanan perang dan tentara Jepang yang berada di Jawa Tengah. Kedatangan sekutu ini diboncengi oleh NICA. Kedatangan Sekutu ini mulanya disambut baik, bahkan Gubernur Jawa Tegah Mr. Wongsonegoro menyepakati akan menyediakan bahan makanan dan keperluan lain bagi kelancaran tugas Sekutu, sedang Sekutu berjanji tidak akan mengganggu kedaulatan Republik Indonesia.

Namun, ketika pasukan Sekutu dan NICA telah sampai di Ambarawa dan Magelang untuk membebaskan para tawanan tentara Belanda, justru mempersenjatai mereka sehingga menimbulkan amarah pihak Indonesia. Insiden bersenjata timbul di kota Magelang, hingga terjadi pertempuran. Di Magelang, tentara Sekutu bertindak sebagai penguasa yang mencoba melucuti Tentara Keamanan Rakyat ( TKR ) dan membuat kekacauan. TKR Resimen Magelang pimpinan M. Sarbini membalas tindakan tersebut dengan mengepung tentara Sekutu dari segala penjuru. Namun mereka selamat dari kehancuran berkat campur tangan Presiden Soekarno yang berhasil menenangkan suasana. Kemudian pasukan Sekutu secara diam-diam meninggalkan Kota Magelang menuju ke benteng Ambarawa. Akibat peristiwa tersebut, Resimen Kedu Tengah di bawah pimpinan Letnan Kolonel M. Sarbini segera mengadakan pengejaran terhadap mereka. Gerakan mundur tentara Sekutu tertahan di Desa Jambu karena dihadang oleh pasukan Angkatan Muda di bawah pimpinan Oni Sastrodihardjo yang diperkuat oleh pasukan gabungan dari Ambarawa, Suruh dan Surakarta.

Sekutu kembali dihadang oleh Batalyon I Suryosumpeno di Ngipik. Pada saat pengunduran, tentara Sekutu mencoba menduduki dua desa di sekitar Ambarawa. Pasukan Indonesia di bawah pimpinan Letnan Kolonel Isdiman berusaha membebaskan kedua desa tersebut, Letnan Kolonel Isdiman gugur. Sejak gugurnya Letkol Isdiman, Komandan Divisi V Banyumas, Soedirman merasa kehilangan perwira terbaiknya dan ia langsung turun ke lapangan untuk memimpin pertempuran. Kehadiran Kolonel Sudirman memberikan nafas baru kepada pasukan-pasukan RI. Koordinasi diadakan diantara komando-komando sektor dan pengepungan terhadap musuh semakin ketat. Siasat yang diterapkan adalah serangan pendadakan serentak di semua sektor. Bala bantuan terus mengalir dari Yogyakarta, Solo, Salatiga, Purwokerto, Magelang, Semarang, dan lain-lain.

Tanggal 23 Nopember 1945 ketika matahari mulai terbit, mulailah tembak-menembak dengan pasukan Sekutu yang bertahan di kompleks gereja dan pekuburan Belanda di Jalan Margo Agung. Pasukan Indonesia antara lain dari Yon Imam Adrongi, Yon Soeharto dan Yon Sugeng. Tentara Sekutu mengerahkan tawanan-tawanan Jepang dengan diperkuat tanknya, menyusup ke kedudukan Indonesia dari arah belakang, karena itu pasukan Indonesia pindah ke Bedono.

Pada tanggal 11 Desember 1945, Kolonel Soedirman mengadakan rapat dengan para Komandan Sektor TKR dan Laskar. Pada tanggal 12 Desember 1945 jam 04.30 pagi, serangan mulai dilancarkan. Pertempuran berkobar di Ambarawa. Satu setengah jam kemudian, jalan raya Semarang-Ambarawa dikuasai oleh kesatuan-kesatuan TKR. Pertempuran Ambarawa berlangsung sengit, Kolonel Soedirman langsung memimpin pasukannya yang menggunakan taktik gelar supit urang, atau pengepungan rangkap sehingga musuh benar-benar terkurung. Suplai dan komunikasi dengan pasukan induknya terputus sama sekali. Setelah bertempur selama 4 hari, pada tanggal 15 Desember 1945 pertempuran berakhir dan Indonesia berhasil merebut Ambarawa dan Sekutu dibuat mundur ke Semarang.

Kedahsyatan Palagan Ambarawa juga tercermin dalam laporan pihak Inggris yang menulis: “The battle of Ambarawa had been a fierce struggle between Indonesian troops and Pemuda and, on the other hand, Indian soldiers, assisted by a Japanese company….” Yang juga ditambahi dengan kalimat, “The British had bombed Ungaran intensively to open the road and strafed Ambarawa from air repeatedly. Air raids too had taken place upon Solo and Yogya, to destroy the local radio stations, from where the fighting spirit was sustained…”
Kemenangan pertempuran ini kini diabadikan dengan didirikannya Monumen Palagan Ambarawa dan diperingatinya Hari Jadi TNI Angkatan Darat atau Hari Juang Kartika.

Dan hingga kini, darah pejuang yang membasahi bumi Ambarawa adalah bukti dari keteguhan serta pengorbanan untuk mempertahankan harga diri bangsa yang harus tetap kita pertahankan sampai kapanpun.


http://a4.sphotos.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-ash4/c0.0.400.400/p403x403/395920_270413773071414_1432855955_n.jpg

Insiden Bendera di Hotel Yamato Surabaya

INILAH awal gerakan sporadis Arek-arek Suroboyo menantang dan melawan keinginan kolonial untuk kembali menancapkan kukunya menjajah bumi pertiwi, Indonesia.

Tanggal 19 September 1945 bagi warga Kota Surabaya, harus selalu dikenang. Sebab itulah gerakan heroik yang sulit dilupakan sebagai awal kebangkitan Arek Suroboyo yang kemudian berkobar dalam peristiwa 10 November 1945. Tanggal yang menjadi tonggak sejarah, sehingga Kota Surabaya memperoleh predikat “Kota Pahlawan”.

Betapa tidak, kejadian di tanggal 19 Sptember 1945 yang dikenal dengan “insiden bendera”, merupakan pemicu semangat juang Arek Suroboyo. Adanya peristiwa perobekan bendera Belanda tiga warna “merah-putih-biru” di atas gedung hotel Yamato (nama di zaman Jepang yang semula zaman Belanda bernama hotel Orange, kini bernama Hotel Majapahit) di Jalan Tunjungan 65 Surabaya itu, benar-benar memperkokoh persatuan pemuda pergerakan di Surabaya.

Hotel Majapahit, sekarang ini, di zaman Belanda bernama LMS Orange Hotel. LMS adalah singkatan nama Lucas Martin Sarkies. “Orange” adalah warna kebanggan bangsa Belanda. Bahkan, hingga sekarang kesebelasan sepakbola nasional Belanda menggunakan seragam kaus berwarna orange. Sewaktu Jepang berkuasa, nama hotel ini diganti menjadi Hotel Yamato.
Wiwiek Hidayat (alm) mantan kepala kantor berita “Antara” di Surabaya, saat masih hidup di tahun 1990-an dalam wawancara dengan penulis pernah mengungkap berbagai peristiwa di tahun 1945. Banyak hal tentang perjuangan Arek Suroboyo dan para wartawan di kala itu yang diceritakan kepada penulis. Ada yang dalam bentuk wawancara, maupun bincang-bincang di waktu senggang. Berbagai kisah masa lalu banyak yang sempat kami catat dari tokoh pers dan pelaku sejarah perjuangan Surabaya ini .
Dari Tunjungan 100

Kendati tidak ikut naik ke atas gedung hotel Yamato yang persis di depan kantor berita Antara di jalan Tunjungan 100 Surabaya itu, Wiwiek Hidayat adalah saksi mata. Ia mengabadikan dan mencatat dengan rapi kejadian di puncak hotel yang kemudian bernana Hotel Majapahit itu. Pak Wiwiek – begitu wartawan senior ini biasa disapa – secara tegas menyatakan tahu persis nama orang yang merobek kain warna biru dari bendera Belanda itu. Kain warna biru itu dirobek dengan digigit. Setelah robek, dua warna merah putih tersisa kembali diikatkan ke tiang bendera dan menjadi sangsaka merah-putih. “Nama orang itu adalah Kusno Wibowo yang dibantu Onny Manuhutu dan ada dua orang lagi yang saya tidak kenal,” kata Pak Wiwiek.

Memang, ada yang lain, tetapi mereka membantu membawa tangga dan hanya naik ke atap gedung bagian tengah, serta beramai-ramai berteriak penuh semangat. Jadi yang berada di puncak tempat tiang bendera itu, hanya ada empat orang. Foto dokumentasinya masih tersimpan di kantor berita “Antara”, ujar Pak Wiwiek waktu itu. Anehnya, kemudian banyak orang lain yang mengaku-ngaku sebagai pelaku perobekan. Sehingga, akhirnya diputuskan dan disepakati bahwa pelakunya adalah “Arek Suroboyo” (tanpa nama).

Pak Wiwiek di tahun-tahun terakhir sebelum beliau berpulang ke Rahmatullah, hampir tiap sore bertandang ke Balai Wartawan Jalan Taman Apsari 15-17 Surabaya. Di sana ia berkumpul dengan wartawan muda. Keakraban dengan wartawan muda itu, memberi gairah Pak Wiwiek bernostalgia. Sehingga pikiran jernihnya berhasil mengungkap tabir di balik peristiwa insiden bendera yang bersejarah itu.

Hari Selasa, 18 September 1945, siang hingga sore beberapa anak muda Belanda Indo mengibarkan bendera Belanda “merah-putih-biru” di atas gedung hotel Yamato. Mereka itu berada di bawah perlindungan opsir-opsir tentara Sekutu dan Belanda dari kesatuan Allied Command. Tentara ini datang ke Surabaya bersama rombongan Intercross atau Palang Merah Internasional.
Beberapa hari sebelumnya terdengar kabar, bahwa anak-anak muda Belanda Indo itu membentuk organisasi bernama “Kipas Hitam”. Tujuannya untuk melawan gerakan kemerdekaan Indonesia yang sudah diproklamasikan 17 Agustus 1945 (sebulan sebelumnya). Selain berlindung di belakang opsir Sekutu dari Alleid Command, ternyata para opsir itu adalah NICA (Netherland Indies Civil Administration) yang ingin mencengkeramkan kembali kukunya di Bumi Nusantara.
“Melihat tingkah bule-bule di hotel yang terlihat jelas dari kantor berita Antara, membuat darah para wartawan mendidih. Ulah tingkah anak-anak muda Belanda itu segera disebarkan kepada kelompok pergerakan. Situasi semakin menghangat dan hiruk pikuk, tatkala melihat bendera Belanda tiga warna berkibar di atas hotel Yamato”, cerita Pak Wiwiek.

Suasana bertambah panas, ketika besoknya pada Hari Rabu, 19 September 1945 pagi, anak-anak muda Belanda Indo itu berkumpul di depan hotel. Beberapa orang yang melihat bendera Belanda berwarna “merah-putih-biru” berkibar di puncak hotel Yamato, tidak hanya sekedar menggerutu, tetapi beberapa di antaranya berteriak-teriak histeris. Mereka minta agar bendera itu diturunkan. Namun anak-anak muda Belanda Indo itu menolak dan dengan congkaknya seolah-olah menantang.

Sadar bahwa ulah anak-anak Belanda itu sudah keterlaluan. Suasana di kalangan anak muda Surabaya semakin tidak menentu. Mau bertindak sendiri-sendiri, masih ada keragu-raguan. Belum ada satupun yang mengambil inisiatif, termasuk para wartawan dan pemuda pergerakan yang berada di kantor berita Antara. Namun, beberapa wartawan mendatangi kantor Komite Nasional dan Kantor Keresidenan Surabaya, menanyakan tentang sikap pemerintah dengan adanya bendera Belanda di atas hotel Yamato. Pejabat di dua kantor itu mengaku belum tahu.
Residen Sudirman dengan beberapa pejabat, di antaranya walikota Surabaya waktu itu, Radjamin Nasution dan Cak Ruslan (Roeslan Abdulgani, tokoh pemuda waktu itu), bersama beberapa wartawan, termasuk saya dan Sutomo (Bung Tomo), kata Wiwiek Hidayat, segera mendatangi hotel Yamato. Kepada perwakilan Sekutu yang ada di sana, Pak Dirman – panggilan akrab Residen Soedirman – minta agar bendera Belanda itu diturunkan. Saat rombongan Residen Sudirman masuk ke halaman hotel, di sepanjang Jalan Tunjungan, massa sudah ramai.
Kepada perwakilan Sekutu itu dikatakan bahwa Indonesia sudah memproklamasikan kemerdekaannya, 17 Agustus 1945. Namun, pihak sekutu menolak menurunkan bendera Belanda itu. Mereka menjawab, dalam Perang Dunia II itu yang menang adalah Sekutu, di dalamnya termasuk Belanda, sehingga tidak ada alasan untuk menurunkan bendera Belanda itu.
Ploegman Tewas
Rupanya perwakilan Sekutu itu adalah orang Belanda, bahkan dengan sombongnya ia mengacungkan pistol ke arah Pak Dirman. Saat itu, kata Wiwiek, seorang pemuda menendang pistol yang diacungkan pria kulit putih itu. Terjadi perkelahian dan saling keroyok antara bule-bule dengan pemuda yang datang menyerbu masuk ke halaman hotel. Tauran (perkelahian massal) tak dapat dihindarkan. Apa saja yang ada saat itu dipergunakan jadi senjata. Ada kayu, batu, botol minuman dan ada seorang polisi menggunakan pedang. Ada yang mengangkat sepeda dan dilemparkan ke tengah massa.
Suasana hirukpikuk ini tambah seru, tatkala massa berdatangan dari arah utara dan selatan. Ada yang naik truk dan juga ada yang dengan trem. Yang naik trem listrik itu adalah orang hukuman yang dilepaskan dari penjara oleh Pemuda DKA (Djawatan Kereta Api – sekarang PT.KAI atau Kereta Api Indonesia). Massa menyerbu masuk sampai ke dalam hotel. Sementara itu di luar beberapa orang membawa tangga dan naik ke atas gedung. Ada enam atau tujuh tangga bambu yang disebut ondo itu dibawa warga dari kampung Ketandan dan kampung Kebangsren. Dengan ondo itu, anak-anak muda berjuang memanjat ke atas, hingga akhirnya bendera Belanda itupun diturunkan, namun sertamerta warna biru dari bendera itu dirobek, lalu dwiwarna yang tersisa kembali menjulang di angkasa. Kain warna biru digulung dan dilemparkan ke bawah. Teriakan “Merdeka…!, merdeka! sembari mengepalkan tangan saling bersahutan.
Waktu itu, memang di depan hotel ada serdadu Kempetai (tentara Jepang) yang menjaga dengan senapan dan sangkur terhunus. Namun melihat suasana massa, serdadu Jepang itu hanya diam berbaris, tidak berani melepaskan tembakan.
Dari insiden ini empat pemuda menjadi korban luka berat. Mereka, adalah Sidik, Hariono, S.Mulyadi dan Mulyono. Mereka dilarikan ke rumah sakit Simpang (sekarang sudah tidak ada, di tempat itu kini berdiri gedung Medan Merdeka, Bursa Efek Surabaya (BES), Bank Mandiri dan Plaza Surabaya. Sedangkan korban di pihak Belanda, adalah Ploegman. Ia tewas akibat tusukan senjata tajam.
Pekik Merdeka
Pekik merdeka tiada hentinya berkumandang dalam setiap pertemuan. Ulah anak-anak Indo Belanda yang datang ke Surabaya mempersiapkan kedatangan pasukan Sekutu yang ditugasi melucuti senjata serdadu Jepang, memancing kemarahan warga Kota Surabaya.
Rakyat, terutama para pemuda menyadari, sejak saat itu kemerdekaan yang diproklamasikan 17 Agustus 1945, belum aman. Gejala pihak Belanda ingin menjajah kembali mulai terlihat. Untuk mempertahankan tegaknya negara kesatuan Republik Indonesia di Surabaya, diperlukan senjata dan alat angkutan untuk bergerak cepat. Itulah sebabnya pemuda dan anak-anak kampung di Surabaya melakukan perampasan terhadap mobil-mobil Jepang yang lewat. Bahkan, mereka tidak segan-segan menempelkan kertas merah-putih di kaca-kaca mobil pembesar Jepang.
Tidak jarang, setelah mobil-mobil ditempeli kertas merah-putih, mobil itu diambilalih. Sebelum tentara Sekutu melucuti senjata serdadu Jepang itu, para pemuda Surabaya sudah mendahuluinya. Perampasan senjata juga dilakukan di markas dan gudang-gudang Kempetai.
Memanasnya kemelut setelah insiden bendera di Hotel Yamato, mendorong para pimpinan pemuda untuk melakukan koordinasi. Dua hari kemudian, tanggal 21 September, setelah berlangsung rapat KNID (Komita Nasional Indonesia Daerah) di GNI (Gedung Nasional Indonesia) Jalan Bubutan, terbentuklah badan perjuangan yang diberi nama PRI (Pemuda Republik Indonesia).
Dalam rapat PRI disepakati, bahwa PRI adalah organisasi yang tidak memandang perbedaan paham dan golongan. Rapat juga membicarakan berbagai taktik dan cara menghadapi tentara Sekutu yang datang melucuti serdadu Jepang. Roeslan Abdul Gani alias Cak Roes dalam rapat itu mengobarkan semangat juang para pemuda. Cak Roes juga menanamkan rasa permusuhan terhadap tentara Sekutu.
Sebagai langkah awal koordinasi, disusun pengurus PRI dengan ketua: Sumarsono dengan dua wakil ketua: Krissubanu dan Koesnadi. Penulis I dan II, masing-masing: Bambang Kaslan dan Roeslan Effendi, serta bendaharanya: Nn.Supijah. Markas PRI berada di Wilhelmina Princesslaan (sekarang bernama Jalan Tidar) Surabaya. Namun, pada tanggal 4 Oktober 1945, markas PRI ini dipindah ke gedung Simpang Societeit (sekarang bernama Balai Pemuda) di Jalan Gubernur Suryo 15 Surabaya.
Terjadinya pengambilalihan kekuasaan dari tangan penguasaan Jepang di berbagai instansi, di bulan September 1945 itu menambah semangat persatuan di kalangan pemuda. Sampai-sampai begitu semangatnya, di Surabaya muncul poster-poster dengan tulisan: 1 Oktober 1945 akan menjadi “hari pembantaian anjing-anjing Jepang”. Poster itu disebarkan ke mana-mana, kebanyak oleh anggota PRI. Di samping itu, berita dari mulutu ke mulut menjalar ke seantero kota.
Melihat adanya gejala “akan main hakim sendiri”, maka pimpinan PRI dan tokoh pemerintahan, serta anggota KNID, melakukan rapat. Disusunlah strategi jitu untuk melakukan penyerangan ke markas Kempetai dan markas-markas Angkatan Laut Jepang di Jalan Embong Wungu, markas Angkatan Darat Jepang di Jalan Darmo, Gungungsari, Sawahan dan lain-lain.
Penyerangan dikordinasikan oleh PRI bersama BKR (Badan Keamanan Rakyat), serta Polisi Istimewa. Saat terjadi penyerangan 1 Oktober 1945, korban berjatuhan dari ke dua belah pihak. Puluhan orang serdadu Jepang terbunuh dan ratusan orang lainnya digiring masuk penjara dan kamp tahanan.
Pihak Jepang di Surabaya akhirnya menyatakan menyerah kepada pimpinan pemerintahan daerah di Surabaya tanggal 2 Oktober 1945. Panglima Divisi tentara Jepang Jawa Timur, Jenderal Iwabe, memerintahkan seluruh serdadu Jepang untuk menyerah kepada BKR, sekaligus menyerahkan seluruh senjata dan gudang-gudangnya. Sebaliknya, pihak Indonesia, menyanggupi untuk menjaga keamanan semua orang Jepang. Penyerahan kekuasaan oleh Jenderal Iwabe ini kemudian diikuti pula oleh Laksamana Laut Shibata, 7 Oktober 1945.
Dekrit
Setelah berhasil mencapai kemenangan, Pemerintah Keresidenan Surabaya mengeluarkan “Dekrit” atas nama Pemerintah Republik Indonesia yang berisi enam pasal. Maksud dekrit itu untuk menggalang kekuasaan lebih lanjut di bawah pengawasan BKR. KNID juga mengeluarkan seruan agar rakyat mematuhi semua komando dari BKR.
Residen Sudirman kemudian membentuk komite pelaksana untuk membantu pemerintah keresidenan. Anggota komite pelaksana, selain dari KNID, juga masuk pimpinan buruh, Syamsu Harya Udaya dan ketua PRI, Sumarsono.
Markas Besar PRI di Balai Pemuda, benar-benar menjadi pusat kegiatan dan koordinasi antar pemuda Surabaya. PRI dengan cepat berkembang dengan dibentuknya PRI lokal di kampung-kampung. Kemudian diresmikan pula enam cabang, masing-masing: Cabang Kampement (Jalan Sunan Giri), Sidodadi, Ketabang, Bubutan, Kaliasin dan Darmo. Dari enam cabang itu, kemudian diubah menjadi tiga pusat, yakni: PRI Utara, PRI Tengah dan PRI Selatan.
PRI Surabaya di waktu itu merupakan laskar yang kuat dan popular. Kekuatannya, hampir sama dengan kekuatan TKR di Surabaya. Kegiatan menonjol yang menjadi cacatan sejarah yang dilakukan PRI, antara lain: terlibat langsung dalam peristiwas pembunuhan yang terjadi di kamp tawanan Jepang di Jalan Bubutan (Koblen). Selain itu juga ikut terlibat dalam peristiwa penggeledahan kantor RAPWI (Recovery of Allied Prisoners and War Internees) di Hotel Yamato, kantor NICA (Nedherlands Indies Civil Administration), serta beberapa rumah milik orang-orang Eropa di Surabaya.
Dari penggeledahan yang dilaksanakan 11 Oktober 1945 itu, ditemukan banyak bukti yang berhubungan dengan rencana penyerangan pihak Sekutu ke Indonesia. Saat penggeledahan itu juga dilakukan penyitaan terhadap alat komunikasi, perta dan dokumen yang merupakan kerja intelejen dan mata-mata. Dari temuan itu, tekad bulat pemuda untuk mempermalukan kedatangan armada Sekutu yang bekal mendarat di Tanjung Perak Surabaya, sudah semakin bulat. Bahkan di dalam kota, kegiatan pemboikotan pasokan makanan untuk orang Eropa, khususnya Belanda Indo.
Tanggal 12 Oktober 1945, merupakan hari bersejarah bagi Bung Tomo (Sutomo) dan kawan-kawannya. Pada hari itu, bertempat di rumah Jalan Biliton No.7 disepakati lahirnya sebuah organisasi bersenjata bernama “Pimpinan Pemberontakan Rakyat Surabaya” (PPRS). Para pelopor pemberontakan harus berani bertanggungjawab sepenuhnya seandainya digempur dan dikalahkan oleh Inggris dan sekutunya. Para pelaku pertemuan itu, dalam buku Laporan Survey Sejarah Kepahlawanan Kota Surabaya, adalah: Sutomo (Bung Tomo), Soemarno, Asmanu, Abdullah, Atmadji, Sudjarwo, Suluh Hangsono dan beberapa pemuda lainnya.
Bung Tomo mengatakan, PPRS yang kemudian diubah menjadi BPRI (Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia), adalah organisasi pemuda yang sedikit teratur dan mengambil bagian terpenting dalam peran Surabaya. Organisasi ini tidak mempunyai afiliasi politik yang resmi, tetapi memiliki beberapa stasiun radio dan mengemudikan beberapa stasiun radio.
Setelah BPRI terbentuk, kegiatan pemuda bersenjata semakin teratur dan terkendali. Kerjasama dengan organisasi pemuda lainnya mulai terbangun. Masing-masing kelompok membagi dan menentukan wailayah operasinya.
Tidak hanya di darat, kekuatan pemuda mulai bersatu. Setelah Jepang bertekuk lutut kepada Sekutu, para pemuda Indonesia yang berada di kapal, juga melakukan kegiatan. Operasi laut pertama kali dilakukan ke Pulau Nyamukan (Djamuan Riff) yang terletak beberapa mil dari dermaga Ujung, Surabaya. Dari operasi tanggal 14 Oktober 1945 di laut itu berhasil diperoleh surat perintah menyerah dari Kaigun Saiko Sjikikan (Komandan Tertinggi Angkatan Laut Jepang di Surabaya), Laksamana Sjibata.
Unsur laut yang terlibat dalam operasi itu antara lain: TKR Laut, MKR dan PHL. Dengan menggunakan kapal perang tipe pemburu kapal selam (Submerine Chaser) S-115 yang diambilalih dari tangan Kaigun Jepang, 7 Oktober 1945. Sebagai komandan kapal diangkat Dento dengan kepala kamar mesin, Kunto serta kepala persenjataan, Gimo. Sebagi pimpinan operasi bertindak Atmadji yang juga pimpinan MKR Surabaya. Dalam operasi itu ikut ula Moch.Afandi, ketua umum PAL (Penataran Angkatan Laut) Gunadi dan beberapa pimpinan TKR Laut.
Dalam operasi laut itu, kapal S-115 yeng menggunakan bendera Merah Putih itu, berhasil menggiring 34 buah barkas pendarat (Daihatsu) dari Pulau Nyamukan yang mengangkut 419 orang tentara laut Jepang. Operasi tanpa pertumpahan darah itu tiba di dermaga Ujung malam hari. Selain menawan ke 419 orang tentara laut Jepang itu, TKR Laut juga menyita 34 barkas pendarat, 217 senapan karabyn, 22 senapan mesin dan beberapa peti granat, serta amunisi.
Peristiwa yang merupakan prestasi besar ini tersebar dengan cepat, berkat siaran radio BPRI dan siaran radio Surabaya yang disampaikan dalam amanat Drg.Moestopo.
Menjelang kedatangan pasukan Inggris dengan bendera Sekutu itu, terjadi berbagai ekses. Setiap warga Belanda dan Indo laki-laki dan remaja usia di atas 16 tahun ditangkapi oleh anggota PRI. Mereka dijemput di asrama dan rumah-rumah dengan menggunakan truk. Dari pagi hingga petang pada tanggal 15 Oktober 1945, sebanyak 3.500 orang dimasukkan ke penjara Kalisosok Surabaya.
Gerakan pemuda di Surabaya semakin panas, apalagi dengan terjadinya pertempuran antara pihak Indonesia dengan pihak militer Jepang di Semarang. Peristiwa lima hari 15 sampai 20 Oktober di Jawa Tengah itu membuat se bagian pemuda Surabaya yang “dendam” terhadap perlakuan Jepang sebelumnya berupaya melakukan tindakan balasan. Spanduk dan selebaran yang berasal dari Semarang membuat darah Arek Suroboyo mendidih. Isinya: “Singkirkan Jepang, sebelum mereka membantai kita di Surabaya!”.
Hampir tiap hari di depan penjara Koblen tempat serdadu Jepang ditahan, selalu ramai oleh kerumunan anak muda. Mereka berteriak-teriak agar orang-orang Jepang yang ada di dalam penjara dikeluarkan. Beberapa di antara orang Jepang yang berhasil dikeluarga langsung dieksekusi mati. Para pemimpin pemuda pergerakan bersama TKR dan KNIP berusaha mencegah tindakan main hakim sendiri.
Suasana kemudian beralih kepada makin dekatnya jadwal pendaratan tentara Sekutu di Surabaya. Akhirnya, tanggal 25 Oktober 1945, tentara Sekutu yang didominasi tentara Inggris mendarat di Tanjung Perak dengan kekuatan satu brigade. Pasukan yang berjumlah 6.000 orang ini terdiri dari Brigade Infantri 49 dari divisi India ke-23 , di bawah komando Brigadir Jenderal Mallaby.
Armada kapal yang merapat di dermaga itu itu terdiri dari kapal transport bernama: “Wavenley”, “Mlaika”, “Assidios”, “Floristan” dan beberapa kapal lagi yang dilindungi oleh kapal perang Inggris.

Jumat, 06 Juli 2012

ALAT MUSIK " TIFA " BERUSIA 200 TAHUN TERBUAT DARI KULIT MANUSIA

Jika anda jalan jalan ke Papua, jangan lewatkan berkunjung ke desa adat Yobeh di Danau Sentani,
Kab Jayapura, Papua. Di desa ini punya benda pusaka yang menakjubkan. Mereka m...emiliki Tifa, gendang khas Papua, berumur 200 tahun yang memakai kulit manusia asli. Kepala
Suku desa Yobeh menjelaskan tifa dibuat menggunakan kulit manusia. Umurnya dua ratus tahun. Dulu ada dua, yaitu Tifa laki-laki dan Tifa perempuan. Tifa perempuan kini berada di salah satu museum di Belanda dan di desa Yobeh tinggal Tifa laki-laki.

Tifa adalah alat musik khas Papua yang berbentuk gendang. Di desa Yobeh kini ada dua Tifa yang menggantung di langit-langit sebuah ruangan khusus. Warnanya hitam, termakan usia. "Tifa ini sebagai pertanda kalau
ada warga yang mau meninggal. Yang rambutnya sudah memutih, yang sudah ada bercak-bercak di wajahnya. Malam hari, Tifa ini akan berbunyi sendiri. Pertanda besoknya dia akan meninggal. Jika Tifa ini bunyi, tifa yang di Belanda sana juga akan berbunyi, secara bersamaan," ungkap
kepala suku.


Dan tahulah anda???
Tana Toraja memiliki ritual pemakaman yang dianggap paling rumit di dunia.Upacara pemakaman itu disebut Rambu Solo,yaitu sebuah upacara pemakaman secara adat yang mewajibkan keluarga yang meninggal membuat sebuah pesta sebagai tanda penghormatam akhir pada mendiang yang telah pergi.Tingkatan upacara juga tergantung strata sosial keluarga.Uniknya lagi, jasad orang yang mati hanya diletakkan begitu saja disebuah tebing tanpa dikubur.Namun sama sekali tidak menimbulkan bau busuk.

Kamis, 05 Juli 2012

TIGA UNIVERSITAS BESAR DI INDONESIA SIAP KEMBANGKAN INFRASTRUKTUR JEMBATAN SELAT SUNDA

Setelah sukses dengan jembatan yang menghubungkan pulau Jawa dan Madura sebentar lagi jembatan di Selat Sunda yang menghubungkan antara Jawa dan Sumatera akan segera terwujud. Akhir pekan lalu telah disepakati penanda tangan.dan kerjasama pembangunan jembatan Selat Sunda di Yogyakarta antara Universitas Gajah Mada, Institut Teknologi Bandung dan Universitas Indonesia, yang didampingi Menko Perekonomian RI Hatta Rajasa di Balai Senat UGM. Ke tiga perguruan tinggi tersebut akan mengembangkan infrastrukturnya.

Kepala Bidang Peningkatan Mutu Penelitian UGM Harno Dwi Pranowo mengatakan bahwa ke tiga perguruan tinggi tersebut menempatkan diri sebagai akademisi dan rencananya hasil penelitiannya akan dipresentasikan tahun depan, sekitar bulan Maret-April 2013 mendatang. Gagasan pembangunan jembatan ini sudah dikemukakan sejak tahun 1960 silam. Gagasan awal proyek jembatan ini berawal dari gagasan Sedyatmo (alm), seorang guru besar di Institut Teknologi Bandung (ITB). Ia menggunakan konsep Tri Nusa Bima­sakti yang berarti penghubung antara tiga pulau, Sumatra, Jawa, dan Bali. Proyek ini menjadi bagian proyek Asian Highway Network


Rival, Indonesia vs Malaysia

Siapa yang tidak tahu mengenai ketegangan yang terjadi antara 2 negara tetangga ini? Rasanya sangat tidak mungkin, jika ada orang yang mengaku tidak tahu ketegangan yang terjadi di antara kedua belah negara ter...sebut.
Begitu banyak konflik yang membuat hubungan Indonesia-Malaysia kian hari kian memanas. Belum terselesaikan yang satu, muncul lagi kemudian hal lain yang dapat membuat kedua belah pihak beritegang. Ada apa gerangan dibalik konflik tersebut?
Pada kenyatannya,ternyata konflik ini sudah berakar sejak lama, yaitu semenjak jaman pemerintahan Presiden Soekarno, bahkan mencapai klimaks, ketika Presiden RI Soekarno saat itu memutuskan hubungan diplomatik dengan Malaysia. Indonesia pada saat itu melihat Malaysia sebagai antek kolonialisme, yang mendukung penjajahan di atas muka bumi. Politik luar negeri Indonesia saat itu memang lebih cenderung pro-Timur, dalam artian pemerintah Indonesia di bawah pimpinan Soekarno, membenci segala hal yang berbau Barat. Karena kolonialisme adalah produk Barat, maka Indonesia pun menunjukkan ketidaksukaannya ketika Malaysia memilih bergabung dengan Inggris. Sampai saat ini pun, Malaysia, di samping Inggris, Singapura, dan sejumlah negara lainnya, merupakan anggota negara-negara persemakmuran Inggris.
Beberapa tahun terakhir, hubungan bilateral Indonesia-Malaysia “terganggu” dengan klaim Malaysia terhadap Sipadan-Ligitan. Klaim sepihak pemerintah negeri jiran terhadap Pulau Sipadan-Ligitan, telah menyebabkan Indonesia kehilangan wilayah tersebut. Dalam kasus tersebut, kedua negara, Indonesia dan Malaysia memang saling mengklaim kepemilikan wilayah tersebut. Akhirnya, sebagai solusi, kasus itu pun dibawa ke Mahkamah Internasional. Sayangnya, pada tahun 2002 lalu, Indonesia kalah dalam persidangan penentuan kepemilikan pulau tersebut sehingga pulau itu pun resmi menjadi milik Malaysia. Belum reda persoalan tersebut, lalu kemudian muncul (lagi) adanya klaim sepihak pemerintah Malaysia terhadap blok Ambalat yang ada di Laut Sulawesi. Kasus Ambalat ini bermula dari perlakuan pemerintah Malaysia yang memberi konsesi kepada perusahaan minyak, Shell untuk melakukan eksplorasi di Laut Sulawesi. Malaysia mengklaim blok Ambalat yang berada di perairan Karang Unarang tersebut adalah milik Malaysia. Padahal, berdasarkan deklarasi Juanda 1957, pulau tersebut milik Indonesia. Deklarasi Juanda sendiri pada tahun 1959 telah diadopsi oleh PBB ke dalam Konvensi Hukum Laut. Dengan demikian, PBB pun mengakui kepemilikan Indonesia atas pulau itu. Sejumlah isu sensitif, khususnya yang berkaitan dengan teritorial seperti ini berpeluang besar mengganggu hubungan saudara serumpun itu. Apalagi, masyarakat Indonesia melihat perilaku Malaysia belakangan ini cenderung melecehkan Indonesia. Perlakuan pemerintah dan rakyat “Negeri Jiran” tersebut kepada para TKI kita di sana sungguh merupakan tindakan yang tidak terpuji.
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa kemakmuran ekonomi Malaysia telah membuat citra negeri tersebut relatif lebih baik. Apalagi, fakta menunjukkan begitu banyak warga negara kita mengais rezeki di sana sebagai pembantu rumah tangga dan buruh kasar lainnya. Setidaknya, banyaknya TKI yang tinggal di sana, membuat pemerintah Malaysia ingin mengatakan bahwa Malaysia kini lebih maju dari Indonesia. Dan hal inilah yang digunakan Malaysia untuk berbuat seenaknya, termasuk mungkin dalam kasus Ambalat.
Dibalik semua konflik yang terjadi, kita perlu menyadari bahwa dengan status “saudara serumpun”, Pemerintah Indonesia dan Malaysia tetap berupaya untuk menjaga hubungan bilateral kedua belah pihak dengan meningkatkan kerja sama ekonomi antar kedua negara dan memfokuskan kerja sama dalam tujuh sektor. Sebagai gambaran, salah satu investor asal Indonesia yang akan berekspansi ke Malaysia adalah Blue Bird Group. Mereka sangat berminat untuk berinvestasi ke Malaysia di bisnis pertaksian dan bahkan sudah melakukan joint venture company dengan satu perusahaan Malaysia. Keberhasilan Blue Bird dalam mengelola bisnis layanan transportasi di Indonesia bisa dijadikan standar (benchmark) bisnis serupa di Malaysia. Selain itu pihaknya juga berharap investasi Indonesia di Malaysia akan semakin meningkat terutama di sektor pariwisata dan manufaktur.
Melihat upaya yang dilakukan oleh Presiden RI dengan tetap menjalin kerjasama bilateral dengan pemerintah Malaysia mungkin menimbulkan banyak tanda tanya di benak kita, di satu sisi pemerintah tetap mempertahankan hubungan bilateral kedua negara dengan maksud untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, namun di sisi lain, pemerintah juga seolah-olah “melupakan” nasib para TKI yang sudah dilecehkan sesuka hati “rakyat Jiran” di sana. Memang benar bahwa saat ini Malaysia jauh lebih maju dibandingkan Indonesia, dan pasti banyak hal yang dapat kita pelajari dari mereka. Tapi bukan berarti pemerintah justru malah mengabaikan setiap konflik yang terjadi tanpa melakukan tindakan yang tegas dan konkret demi membela harkat dan martabat bangsa. Disinilah presiden RI harusnya dapat menunjukkan peranannya sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan supaya konflik ini tidak terus terjadi turun temurun sampai anak cucu kita.

UBAH ASAP ROKOK JADI OKSIGEN, DUA SISWA SMAN 3 SEMARANG RAIH PENGHARGAAN INTERNASIONA

Inovasi T-Box Application to Reduce the Danger Impact of CO dan CO2 in Smoking Room, mengantarkan dua siswa SMAN 3 Semarang menorehkan prestasi di
ajang... International Exhibition for Young Inventors (IEYI) 2012 di
Bangkok yang diadakan tanggal 28 Juni - 1 Juli 2012 lalu. Mereka adalah Hermawan Maulana dan Zihrama Afdi yang membawa pulang medali emas ke Indonesia.

Fungsi dari penemuan tersebut adalah untuk memfilter karbondioksida atau CO2 yang dihasilkan oleh asap rokok di smoking room untuk diambil oksigennya. Nantinya oksigen tersebut akan dialirkan kembali ke dalam smoking room, menjadikan ruangan tetap memiliki oksigen
yang memadai bagi para perokok.
"Kami belajar untuk mengurangi dampak negatif rokok dan membuat alat pengurang residu dari rokok," terang Afdi. Hasil ciptaan Afdi dan Hermawan ini berhasil menyingkirkan
pesaingnya yang berasal dari delapan negara yaitu Hongkong, Malingsia, Jepang, Filipina, Thailand,
Vietnam, Singapura, dan Taiwan.

Gamers

Ini opini saya tentang cowok Gamers. .
Kasih coment ya . . .

Rata - rata.
COWOK GAMERS ITU :
- Jarang keluar rumah. (Paling keluar mau ke warnet)
- Jarang SMS an. (Sibuk nge chat sesama gamers)
- Bersifat dingin sama cewe. (Cuek)
- Kalopun punya pacar, pasti jarang berduaan. (Sibuk sama game)

TAPI ,
COWOK GAMERS ITU :
- Gak manja.
- Mandiri.
- Banyak temen.
- Jarang Sedih.
- Jarang ngelamun.
- Bahkan sebagian ada yg bisa hasilin uang sendiri dari game nya.. (y)

Jadi,
Jangan asal ngomong sama GAMERS..
Karna gak semua gamers itu BURUK..

Kamis, 28 Juni 2012

POPULASI BURUNG CEDRAWASIH SEMAKIN KRITIS

Populasi burung cantik
Cendrawasih yang berasal dari Papua kini diambang kritis. Perubahan ekologi dan orientasi ekonomi membawa ancaman
primer dan sekunder bagi hewan endemik Papua ini. Penurunan populasi cenderawasih itu antara
lain karena pemekaran kabupaten baru, pembangunan akses jalan, permukiman penduduk, pembalakan hutan, dan perburuan serta penangkapan.
Setiap pembukaan jalan,
pembangunan perkantoran, permukiman penduduk,
penambangan, dan pembalakan hutan selalu ada cendrawasih yang ditangkap atau mati.

Hasil penelitian terakhir pada Maret 2012 yang dilakukan BKSDA Papua di salah satu lokasi habitat
cenderawasih diketahui setiap satu kilometer persegi hanya ditemukan 2-3 ekor cenderawasih. Padahal, tahun 2000-2005 masih ditemukan
10-15 ekor. ”Ini tingkat degradasi yang sangat memprihatinkan,”
kata Staf Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Papua, Herman
So. Seiring laju kehancuran habitat dan perilaku manusia, bukan tak mungkin suatu saat
burung endemik papua ini bakal tinggal nama saja seperti halnya jalak Bali (Leucopsar rothschildi) atau elang Jawa


 Foto: POPULASI BURUNG CEDRAWASIH SEMAKIN KRITIS

Populasi burung cantik
Cendrawasih yang berasal dari Papua kini diambang kritis. Perubahan ekologi dan orientasi ekonomi membawa ancaman
primer dan sekunder bagi hewan endemik Papua ini. Penurunan populasi cenderawasih itu antara
lain karena pemekaran kabupaten baru, pembangunan akses jalan, permukiman penduduk, pembalakan hutan, dan perburuan serta penangkapan.
Setiap pembukaan jalan,
pembangunan perkantoran, permukiman penduduk,
penambangan, dan pembalakan hutan selalu ada cendrawasih yang ditangkap atau mati.

Hasil penelitian terakhir pada Maret 2012 yang dilakukan BKSDA Papua di salah satu lokasi habitat
cenderawasih diketahui setiap satu kilometer persegi hanya ditemukan 2-3 ekor cenderawasih. Padahal, tahun 2000-2005 masih ditemukan
10-15 ekor. ”Ini tingkat degradasi yang sangat memprihatinkan,”
kata Staf Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Papua, Herman
So. Seiring laju kehancuran habitat dan perilaku manusia, bukan tak mungkin suatu saat
burung endemik papua ini bakal tinggal nama saja seperti halnya jalak Bali (Leucopsar rothschildi) atau elang Jawa

herway

RUMPUT LAUT INDONESIA MAMPU MENGOBATI KANKER

Hasil bioprospeksi Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pengolahan Produk dan Bioteknologi (BBRP2B) serta Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan (Balitbang KP) baru-baru ini menyebutkan bahwa spesies rumput laut atau ganggang laut coklat Turbinaria decurrens yang hidup di Indonesia memiliki potensi untuk mengobati kanker. Lewat pengujian, diketahui bahwa Turbinaria decurrens mampu membunuh sel tumor mulut rahim.

Sebelumnya, ganggang merah jenis Rhodymenia palmata dan ganggang hijau jenis Ulva fasciata juga dilaporkan bisa membunuh sel tumor payudara. Adanya fakta ini menunjukkan bahwa ganggang kaya manfaat. "Kalau kita berhasil menciptakan industri obat-obatan berbasis rumput laut, hasilnya bisa 5-6 kali lebih besar daripada nilai hasil budidaya ikan di Indonesia setahun," Kepala Badan Litbang Kementerian Kelautan dan Perikanan, Rizald M. Rompas


 Foto: RUMPUT LAUT INDONESIA MAMPU MENGOBATI KANKER
Hasil bioprospeksi Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pengolahan Produk dan Bioteknologi (BBRP2B) serta Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan (Balitbang KP) baru-baru ini menyebutkan bahwa spesies rumput laut atau ganggang laut coklat Turbinaria decurrens yang hidup di Indonesia memiliki potensi untuk mengobati kanker. Lewat pengujian, diketahui bahwa Turbinaria decurrens mampu membunuh sel tumor mulut rahim.

Sebelumnya, ganggang merah jenis Rhodymenia palmata dan ganggang hijau jenis Ulva fasciata juga dilaporkan bisa membunuh sel tumor payudara. Adanya fakta ini menunjukkan bahwa ganggang kaya manfaat. "Kalau kita berhasil menciptakan industri obat-obatan berbasis rumput laut, hasilnya bisa 5-6 kali lebih besar daripada nilai hasil budidaya ikan di Indonesia setahun," Kepala Badan Litbang Kementerian Kelautan dan Perikanan, Rizald M. Rompas

herway

Revolusi Prancis

Revolusi di negara perancis sangat mempengaruhi standar kehidupan masyarakat di eropa menuju lebih modern dengan lebih cepat ,karena perancis merupakan salah satu negara terkemuka di eropa,,
Revolusi Perancis adalah masa dalam sejarah Perancis antara tahun 1789 dan 1799 di mana para demokrat dan pendukung republikanisme menjatuhkan monarki absolut di Perancis dan memaksa Gereja Katolik Roma menjalani restrukturisasi yang radikal.

Meski Perancis kemudian akan berganti sistem antara republik, kekaisaran, dan monarki selama 1 bulan setelah Republik Pertama Perancis jatuh dalam kudeta yang dilakukan oleh Napoleon Bonaparte, revolusi ini dengan jelas mengakhiri ancien régime (bahasa Indonesia: Rezim Lama; merujuk kepada kekuasaan dinasti seperti Valois dan Bourbon) dan menjadi lebih penting daripada revolusi-revolusi berikutnya yang terjadi di Perancis.





[ Penyebab revolusi perancis

Banyak faktor yang menyebabkan revolusi ini. Salah satu di antaranya adalah karena sikap orde yang lama terlalu kaku dalam menghadapi dunia yang berubah. Penyebab lainnya adalah karena ambisi yang berkembang dan dipengaruhi oleh ide Pencerahan dari kaum borjuis, kaum petani, para buruh, dan individu dari semua kelas yang merasa disakiti. Sementara revolusi berlangsung dan kekuasaan beralih dari monarki ke badan legislatif, kepentingan-kepentingan yang berbenturan dari kelompok-kelompok yang semula bersekutu ini kemudian menjadi sumber konflik dan pertumpahan darah.

Sebab-sebab Revolusi Perancis mencakup hal-hal di bawah ini:

* Kemarahan terhadap absolutisme kerajaan.
* Kemarahan terhadap sistem seigneurialisme di kalangan kaum petani, para buruh, dan—sampai batas tertentu—kaum borjuis.
* Bangkitnya gagasan-gagasan Pencerahan
* Utang nasional yang tidak terkendali, yang disebabkan dan diperparah oleh sistem pajak yang tak seimbang.
* Situasi ekonomi yang buruk, sebagian disebabkan oleh keterlibatan Perancis dan bantuan terhadap Revolusi Amerika.
* Kelangkaan makanan di bulan-bulan menjelang revolusi.
* Kemarahan terhadap hak-hak istimewa kaum bangsawan dan dominasi dalam kehidupan publik oleh kelas profesional yang ambisius.
* Kebencian terhadap intoleransi agama.
* Kegagalan Louis XVI untuk menangani gejala-gejala ini secara efektif.

Aktivitas proto-revolusioner bermula ketika raja Perancis Louis XVI (memerintah 1774-1792) menghadapi krisis dana kerajaan. Keluarga raja Perancis, yang secara keuangan sama dengan negara Perancis, memiliki utang yang besar. Selama pemerintahan Louis XV (1715-1774) dan Louis XVI sejumlah menteri, termasuk Turgot (Pengawas Keuangan Umum 1774-1776) dan Jacques Necker (Direktur-Jenderal Keuangan 1777-1781), mengusulkan sistem perpajakan Perancis yang lebih seragam, namun gagal. Langkah-langkah itu mendapatkan tantangan terus-menerus dari parlement (pengadilan hukum), yang didominasi oleh "Para Bangsawan", yang menganggap diri mereka sebagai pengawal nasional melawan pemerintahan yang sewenang-wenang, dan juga dari fraksi-fraksi pengadilan. Akibatnya, kedua menteri itu akhirnya diberhentikan. Charles Alexandre de Calonne, yang menjadi Pengawas Umum Keuangan pada 1783, mengembangkan strategi pengeluaran yang terbuka sebagai cara untuk meyakinkan calon kreditur tentang kepercayaan dan stabilitas keuangan Perancis.

Namun, setelah Callone melakukan peninjauan yang mendalam terhadap situasi keuangan Perancis, menetapkan bahwa hal itu tidak mungkin dilakukan, dan karenanya ia mengusulkan pajak tanah yang seragam sebagai cara untuk memperbaiki keuangan Perancis dalam jangka panjang. Dalam jangka pendek, dia berharap bahwa dukungan dari Dewan Kaum Terkemuka yang dipilih raja akan mengemalikan kepercayaan akan keuangan Perancis, dan dapat memberikan pinjaman hingga pajak tanah mulai memberikan hasilnya dan memungkinkan pembayaran kembali dari utang tersebut.

Meskipun Callone meyakinkan raja akan pentingnya pembaharuannya, Dewan Kaum Terkemuka menolak untuk mendukung kebijakannya, dan berkeras bahwa hanya lembaga yang betul-betul representatif, seyogyanya Estates-General (wakil-wakil berbagai golongan) Kerajaan, dapat menyetujui pajak baru. Raja, yang melihat bahwa Callone akan menjapada masalah baginya, memecatnya dan menggantikannya dengan Étienne Charles de Loménie de Brienne, Uskup Agung Toulouse, yang merupakan pemimpin oposisi di Dewan. Brienne sekarang mengadopsi pembaruan menyeluruh, memberikan berbagai hak sipil (termasuk kebebasan beribadah kepada kaum Protestan), dan menjanjikan pembentukan Etats-Généraux dalam lima tahun, tetapi ssementara itu juga mencoba melanjutkan rencana Calonne. Ketika langkah-langkah ini ditentang di Parlement Paris (sebagian karena Raja tidak bijaksana), Brienne mulai menyerang, mencoba membubarkan seluruh "parlement" dan mengumpulkan pajak baru tanpa peduli terhadap mereka. Ini menyebabkan bangkitnya perlawanan massal di banyak bagian di Perancis, termasuk "Day of the Tiles" yang terkenal di Grenoble. Yang lebih penting lagi, kekacauan di seluruh Perancis meyakinkan para kreditor jangka-pendek. Keuangan Prancis sangat tergantung pada mereka untuk mempertahankan kegiatannya sehari-hari untuk menarik pinjaman mereka, menyebabkan negara hampir bangkrut, dan memaksa Louis dan Brienne untuk menyerah.

Raja setuju pada 8 Agustus 1788 untuk mengumpulkan Estates-General pada Mei 1789 untuk pertama kalinya sejak 1614. Brienne mengundurkan diri pada 25 Agustus 1788, dan Necker kembali bertanggung jawab atas keuangan nasional. Dia menggunakan posisinya bukan untuk mengusulkan langkah-langkah pembaruan yang baru, melainkan untuk menyiapkan pertemuan wakil-wakil nasional.
[sunting] Sejarah
[sunting] Etats-Généraux 1789
Untuk penjelasan lebih terinci mengenai peristiwa-peristiwa pada 8 Agustus 1788- 17 Juni 1789, lihat Etats-Généraux 1789.

Pembentukan Etats-Généraux menyebabkan berkembangnya keprihatinan pada pihak oposisi bahwa pemerintah akan berusaha seenaknya membentuk sebuah Dewan sesuai keinginannya. Untuk menghindarinya, Parlement Paris, setelah kembali ke kota dengan kemenangan, mengumumkan bahwa Etats-Généraux harus dibentuk sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan dalam pertemuan sebelumnya. Meskipun kelihatannya para politikus tidak memahami "ketentuan-ketentuan 1614" ketika mereka membuat keputusan ini, hal ini membangkitkan kehebohan. Estates 1614 terdiri dari jumlah wakil yang sama dari setiap kelompok dan pemberian suara dilakukan menurut urutan, yaitu Kelompok Pertama (para rohaniwan), Kelompok Kedua (para bangsawan), dan Kelompok Ketiga (lain-lain), masing-masing mendapatkan satu suara.

Segera setelah itu, "Komite Tiga Puluh", sebuah badan yang terdiri atas penduduk Paris yang liberal, mulai melakukan agitasi melawannya, menuntut agar Kelompok Ketiga digandakan dan pemungutan suara dilakukan per kepala (seperti yang telah dilakukan dalam berbagai dewan perwakilan daerah). Necker, yang berbicara untuk pemerintah, mengakui lebih jauh bahwa Kelompok Ketiga harus digandakan, tetapi masalah pemungutan suara per kepala harus diserahkan kepada pertemuan Etats sendiri. Namun kemarahan yang dihasilkan oleh pertikaian itu tetap mendalam, dan pamflet-pamflet, seperti tulisan Abbé Sieyès Apakah Kelompok Ketiga itu? yang berpendapat bahwa ordo-ordo yang memiliki hak-hak istimewa adalah parasit, dan Kelompok Ketiga adalah bangsa itu sendiri, membuat kemarahan itu tetap bertahan.

Ketika Etats-Généraux bertemu di Versailles pada 5 Mei 1789, pidato-pidato panjang oleh Necker dan Lamoignon, yang bertugas menyimpan meterai, tidak banyak membantu untuk memberikan bimbingan kepada para wakil, yang dikembalikan ke tempat-tempat pertemuan terpisah untuk membuktikan kredensi para panggotanya. Pertanyaan tentang apakah pemilihan suara akhirnya akan dilakukan per kepala atau diambil dari setiap orde sekali lagi disingkirkan untuk sementara waktu, namun Kelompok Ketiga kini menuntut agar pembuktian kredensi itu sendiri harus dilakukan sebagai kelompok. Namun, perundingan-perundingan dengan kelompok-kelompok lain untuk mencapai hal ini tidak berhasil, karena kebanyakan rohaniwan dan kaum bangsawan tetap mendukung pemungutan suara yang diwakili oleh setiap orde.
[sunting] Majelis Nasional
Untuk gambaran lebih jelas tentang peristiwa 17 Juni - 9 Juli 1789, lihat Majelis Nasional (Revolusi).

Pada tanggal 28 Mei 1789, Romo Sieyès memindahkan Estate Ketiga itu, kini bertemu sebagai Communes (bahasa Indonesia: "Majelis Perwakilan Rendah"), memulai pembuktian kekuasaannya sendiri dan mengundang 2 estate lainnya untuk ambil bagian, namun bukan untuk menunggu mereka. Mereka memulai untuk berbuat demikian, menyelesaikan proses itu pada tanggal 17 Juni. Lalu mereka mengusulkan langkah yang jauh lebih radikal, menyatakan diri sebagai Majelis Nasional, majelis yang bukan dari estate namun dari "rakyat". Mereka mengundang golongan lain untuk bergabung dengan mereka, namun kemudian nampak jelas bahwa mereka cenderung memimpin urusan luar negeri dengan atau tanpa mereka.

Louis XVI menutup Salle des États di mana majelis itu bertemu. Majelis itu memindahkan pertemuan ke lapangan tenis raja, di mana mereka mereka mulai mengucapkan Sumpah Lapangan Tenis (20 Juni 1789), di mana mereka setuju untuk tidak berpisah hingga bisa memberikan sebuah konstitusi untuk Perancis. Mayoritas perwakilan dari pendeta segera bergabung dengan mereka, begitupun 57 anggota bangsawan. Dari tanggal 27 Juni kumpulan kerajaan telah menyerah pada lahirnya, meski militer mulai tiba dalam jumlah besar di sekeliling Paris dan Versailles. Pesan dukungan untuk majelis itu mengalir dari Paris dan kota lainnya di Perancis. Pada tanggal 9 Juli, majelis itu disusun kembali sebagai Majelis Konstituante Nasional.
[sunting] Majelis Konstituante Nasional
Kemerdekaan Memimpin Rakyat (La liberté guidant le peuple).
[sunting] Serbuan ke Bastille
Untuk diskusi lebih jelas, lihat Penyerbuan ke Bastille.

Pada tanggal 11 Juli 1789, Raja Louis, yang bertindak di bawah pengaruh bangsawan konservatif dari dewan kakus umumnya, begitupun permaisurinya Marie Antoinette, dan saudaranya Comte d'Artois, membuang menteri reformis Necker dan merekonstruksi kementerian secara keseluruhan. Kebanyakan rakyat Paris, yang mengira inilah mulainya kup kerajaan, turut ke huru-hara terbuka. Beberapa anggota militer bergabung dengan khalayak; lainnya tetap netral.

Pada tanggal 14 Juli 1789, setelah pertempuran 4 jam, massa menduduki penjara Bastille, membunuh gubernur, Marquis Bernard de Launay, dan beberapa pengawalnya. Walaupun orang Paris hanya membebaskan 7 tahanan; 4 pemalsu, 2 orang gila, dan seorang penjahat seks yang berbahaya, Bastille menjadi simbol potensial bagi segala sesuatu yang dibenci pada masa ancien régime. Kembali ke Hôtel de Ville (balai kota), massa mendakwa prévôt des marchands (seperti walikota) Jacques de Flesselles atas pengkhianatan; pembunuhan terhadapnya terjadi dalam perjalanan ke sebuah pengadilan pura-pura di Palais Royal.

Raja dan pendukung militernya mundur turun, setidaknya sejak beberapa waktu yang lalu. Lafayette menerima komando Garda Nasional di Paris; Jean-Sylvain Bailly, presiden Majelis Nasional pada masa Sumpah Lapangan Tenis, menjadi walikota di bawah struktur baru pemerintahan yang dikenal sebagai commune. Raja mengunjungi Paris, di mana, pada tanggal 27 Juli, ia menerima kokade triwarna, begitupun pekikan vive la Nation "Hidup Negara" diubah menjadi vive le Roi "Hidup Raja".

Namun, setelah kekacauan ini, para bangsawan, yang sedikit terjamin oleh rekonsiliasi antara raja dan rakyat yang nyata dan, seperti yang terbukti, sementara, mulai pergi dari negeri itu sebagai émigré, beberapa dari mereka mulai merencanakan perang saudara di kerajaan itu dan menghasut koalisi Eropa menghadapi Perancis.

Necker, yang dipanggil kembali ke jabatannya, mendapatkan kemenangan yang tak berlangsung lama. Sebagai seorang pemodal yang cerdik namun bukan politikus yang lihai, ia terlalu banyak meminta dan menghasilkan amnesti umum, kehilangan sebagian besar dukungan rakyat dalam masa kemenangannya yang nyata.

Menjelang akhir Juli huru-hara dan jiwa kedaulatan rakyat menyebar ke seluruh Perancis. Di daerah pedesaan, hal ini ada di tengah-tengah mereka: beberapa orang membakar akta gelar dan tak sedikit pun terdapat châteaux, sebagai bagian pemberontakan petani umum yang dikenal sebagai "la Grande Peur" (Ketakutan Besar).
[sunting] Penghapusan feodalisme

Untuk diskusi lebih rinci, lihat Penghapusan feodalisme.

Pada tanggal 4 Agustus 1789, Majelis Nasional menghapuskan feodalisme, hak ketuanan Estate Kedua dan sedekah yang didapatkan oleh Estate Pertama. Dalam waktu beberapa jam, sejumlah bangsawan, pendeta, kota, provinsi, dan perusahaan kehilangan hak istimewanya.

Sementara akan ada tanda mundur, penyesalan, dan banyak argumen atas rachat au denier 30 ("penebusan pada pembelian 30 tahun") yang dikhususkan dalam legislasi 4 Agustus, masalah masih mandek, meski proses penuh akan terjadi di 4 tahun yang lain.
[sunting] Dekristenisasi
Untuk diskusi lebih jelas, lihat Dekristenisasi Perancis selama Revolusi Perancis.

Revolusi membawa perubahan besar-besaran pada kekuasaan dari Gereja Katolik Roma kepada negara. Legislasi yang berlaku pada tahun 1790 menghapuskan otoritas gereja untuk menarik pajak hasil bumi yang dikenal sebagai dîme (sedekah), menghapuskan hak khusus untuk pendeta, dan menyita kekayaan geraja; di bawah ancien régime, gereja telah menjadi pemilik tanah terbesar di negeri ini. Legislasi berikutnya mencoba menempatkan pendeta di bawah negara, menjadikannya pekerja negeri. Tahun-tahun berikutnya menyaksikan penindasan penuh kekerasan terhadap para pendeta, termasuk penahanan dan pembantaian para pendeta di seluruh Perancis. Concordat 1801 antara Napoleon dan gereja mengakhiri masa dekristenisasi dan mendirikan aturan untuk hubungan antara Gereja Katolik dan Negara Perancis yang berlangsung hingga dicabut oleh Republik Ketiga pada pemisahan gereja dan agama pada tanggal 11 Desember 1905.
[sunting] Kemunculan berbagai faksi
Untuk diskusi lebih jelas, lihat Majelis Konstituante Nasional.

Faksi-faksi dalam majelis tersebut mulai bermunculan. Kaum ningrat Jacques Antoine Marie Cazalès dan pendeta Jean-Sifrein Maury memimpin yang kelak dikenal sebagai sayap kanan yang menentang revolusi. "Royalis Demokrat" atau Monarchien, bersekutu dengan Necker, cenderung mengorganisir Perancis sejajar garis yang mirip dengan model Konstitusi Inggris: mereka termasuk Jean Joseph Mounier, Comte de Lally-Tollendal, Comte de Clermont-Tonnerre, dan Pierre Victor Malouet, Comte de Virieu.

"Partai Nasional" yang mewakili faksi tengah atau kiri-tengah majelis tersebut termasuk Honoré Mirabeau, Lafayette, dan Bailly; sedangkan Adrien Duport, Barnave dan Alexander Lameth mewakili pandangan yang lebih ekstrem. Yang hampir sendiri dalam radikalismenya di sisi kiri adalah pengacara Arras Maximilien Robespierre.

Sieyès memimpin pengusulan legislasi pada masa ini dan berhasil menempa konsensus selama beberapa waktu antara pusat politik dan pihak kiri.

Di Paris, sejumlah komite, walikota, majelis perwakilan, dan distrik-distrik perseorangan mengklaim otoritas yang bebas dari yang. Kelas menengah Garda Nasional yang juga naik pamornya di bawah Lafayette juga perlahan-lahan muncul sebagai kekuatan dalam haknya sendiri, begitupun majelis yang didirikan sendiri lainnya.

Melihat model Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat, pada tanggal 26 Agustus 1789, majelis mendirikan Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Warganegara. Seperti Deklarasi AS, deklarasi ini terdiri atas pernyataan asas daripada konstitusi dengan pengaruh resmi.
[sunting] Ke arah konstitusi

Untuk diskusi lebih lanjut, lihat Ke arah Konstitusi.

Majelis Konsituante Nasional tak hanya berfungsi sebagai legislatur, namun juga sebagai badan untuk mengusulkan konstitusi baru.

Necker, Mounier, Lally-Tollendal, dll tidak berhasil mengusulkan sebuah senat, yang anggotanya diangkat oleh raja pada pencalonan rakyat. Sebagian besar bangsawan mengusulkan majelis tinggi aristokrat yang dipilih oleh para bangsawan. Kelompok rakyat menyatakan di hari itu: Perancis akan memiliki majelis tunggal dan unikameral. Raja hanya memiliki "veto suspensif": ia dapat menunda implementasi hukum, namun tidak bisa mencabutnya sama sekali.

Rakyat Paris menghalangi usaha kelompok Royalis untuk mencabut tatanan baru ini: mereka berbaris di Versailles pada tanggal 5 Oktober 1789. Setelah sejumlah perkelahian dan insiden, raja dan keluarga kerajaan merelakan diri dibawa kembali dari Versailles ke Paris.

Majelis itu menggantikan sistem provinsi dengan 83 département, yang diperintah secara seragam dan kurang lebih sederajat dalam hal luas dan populasi.

Awalnya dipanggil untuk mengurusi krisis keuangan, hingga saat itu majelis ini memusatkan perhatian pada masalah lain dan hanya memperburuk defisit itu. Mirabeau kini memimpin gerakan itu untuk memusatkan perhatian pada masalah ini, dengan majelis itu yang memberikan kediktatoran penuh dalam keuangan pada Necker.
[sunting] Ke arah Konstitusi Sipil Pendeta
Untuk diskusi lanjutan, lihat Konstitusi Sipil Pendeta.

Ke tingkatan yang tidak lebih sempit, majelis itu memusatkan perhatian pada krisis keuangan ini dengan meminta bangsa mengambil alih harta milik gereja (saat menghadapi pengeluaran gereja) melalui hukum tanggal 2 Desember 1789. Agar memonter sejumlah besar harta benda itu dengan cepat, pemerintah meluncurkan mata uang kertas baru, assignat, diongkosi dari tanah gereja yang disita.

Legislasi lebih lanjut pada tanggal 13 Februari 1790 menghapuskan janji biara. Konstitusi Sipil Pendeta, yang disahkan pada tanggal 12 Juli 1790 (meski tak ditandatangani oleh raja pada tanggal 26 Desember 1790), mengubah para pendeta yang tersisa sebagai pegawai negeri dan meminta mereka bersumpah setia pada konstitusi. Konstitusi Sipil Pendeta juga membuat gereja Katolik sebagai tangan negara sekuler.

Menanggapi legislasi ini, uskup agung Aix dan uskup Clermont memimpin pemogokan pendeta dari Majelis Konstituante Nasional. Sri Paus tak pernah menyetujui rencana baru itu, dan hal ini menimbulkan perpecahan antara pendeta yang mengucapkan sumpah yang diminta dan menerima rencana baru itu ("anggota juri" atau "pendeta konstitusi") dan "bukan anggota juri" atau "pendeta yang keras hati" yang menolak berbuat demikian.
[sunting] Dari peringatan Bonjour ke kematian Mirabeau

Untuk diskusi lebih detail tentang peristiwa antara 14 Juli 1790 - 30 September 1791, lihat Dari peringatan Bastille ke kematian Mirabeau.

Majelis itu menghapuskan perlengkapan simbolik ancien régime, baringan lapis baja, dll., yang lebih lanjut mengasingkan bangsawan yang lebih konservatif, dan menambahkan pangkat émigré.

Pada tanggal 14 Juli 1790, dan beberapa hari berikutnya, kerumuman di Champ-de-Mars memperingati jatuhnya Bastille; Talleyrand melakukan sumpah massal untuk "setia pada negara, hukum, dan raja"; raja dan keluarga raja ikut serta secara aktif.

Para pemilih awalnya memilih anggota Dewan Jenderal untuk bertugas dalam setahun, namun dengan Sumpah Lapangan Tenis, commune tersebut telah sepakat bertemu terus menerus hingga Perancis memiliki konstitusi. Unsur sayap kanan kini mengusulkan pemilu baru, namun Mirabeau menang, menegaskan bahwa status majelis itu telah berubah secara fundamental, dan tiada pemilu baru yang terjadi sebelum sempurnanya konstitusi.

Pada akhir 1790, beberapa huru-hara kontrarevolusi kecil-kecilan pecah dan berbagai usaha terjadi untuk mengembalikan semua atau sebagian pasukan pasukan terhadap revolusi yang semuanya gagal. Pengadilan kerajaan, dalam kata-kata François Mignet, "mendorong setiap kegiatan antirevolusi dan tak diakui lagi." [1]

Militer menghadapi sejumlah kerusuhan internal: Jenderal Bouillé berhasil meredam sebuah pemberontakan kecil, yang meninggikan reputasinya (yang saksama) untuk simpatisan kontrarevolusi.

Kode militer baru, yang dengannya kenaikan pangkat bergantung senioritas dan bukti kompetensi (daripada kebangsawanan) mengubah beberapa korps perwira yang ada, yang yang bergabung dengan pangkat émigré atau menjadi kontrarevolusi dari dalam.

Masa ini menyaksikan kebangkitan sejumlah "klub" politik dalam politik Perancis, yang paling menonjol di antaranya adalah Klub Jacobin: menurut 1911 Encyclopædia Britannica, 152 klub berafiliasi dengan Jacobin pada tanggal 10 Agustus 1790. Saat Jacobin menjadi organisasi terkenal, beberapa pendirinya meninggalkannya untuk membentuk Klub '89. Para royalis awalnya mendirikan Club des Impartiaux yang berumur pendek dan kemudian Club Monarchique. Mereka tak berhasil mencoba membujuk dukungan rakyat untuk mencari nama dengan membagi-bagikan roti; hasilnya, mereka sering menjadi sasaran protes dan malahan huru-hara, dan pemerintah kotamadya Paris akhirnya menutup Club Monarchique pada bulan Januari 1791.

Di tengah-tengah intrik itu, majelis terus berusaha untuk mengembangkan sebuah konstitusi. Sebuah organisasi yudisial membuat semua hakim sementara dan bebas dari tahta. Legislator menghapuskan jabatan turunan, kecuali untuk monarki sendiri. Pengadilan juri dimulai untuk kasus-kasus kejahatan. Raja akan memiliki kekuasaan khusus untuk mengusulkan perang, kemudian legislator memutuskan apakah perang diumumkan atau tidak. Majelis itu menghapuskan semua penghalang perdagangan dan menghapuskan gilda, ketuanan, dan organisasi pekerja: setiap orang berhak berdagang melalui pembelian surat izin; pemogokan menjadi ilegal.

Di musim dingin 1791, untuk pertama kalinya majelis tersebut mempertimbangkan legislasi terhadap émigré. Debat itu mengadu keamanan negara terhadap kebebasan perorangan untuk pergi. Mirabeau menang atas tindakan itu, yang disebutnya "patutu ditempatkan di kode Drako." [2]

Namun, Mirabeau meninggal pada tanggal 2 Maret 1791. Mignet berkata, "Tak seorang pun yang menyamainya dalam hal kekuatan dan popularitas," dan sebelum akhir tahun, Majelis Legislatif yang baru akan mengadopsi ukuran "drako" ini.
[sunting] Pelarian ke Varennes
Untuk diskusi lebih jelas, lihat Pelarian ke Varennes.

Louis XVI, yang ditentang pada masa revolusi, namun menolak bantuan yang kemungkinan berbahaya ke penguasa Eropa lainnya, membuat kesatuan dengan Jenderal Bouillé, yang menyalahkan emigrasi dan majelis itu, dan menjanjikannya pengungsian dan dukungan di kampnya di Montmedy.

Pada malam 20 Juni 1791, keluarga kerajaan lari ke Tuileries. Namun, keesokan harinya, sang Raja yang terlalu yakin itu dengan sembrono menunjukkan diri. Dikenali dan ditangkap di Varennes (di département Meuse) di akhir 21 Juni, ia kembali ke Paris di bawah pengawalan.

Pétion, Latour-Maubourg, dan Antoine Pierre Joseph Marie Barnave, yang mewakili majelis, bertemu anggota kerajaan itu di Épernay dan kembali dengan mereka. Dari saat ini, Barnave became penasihat dan pendukung keluarga raja.

Saat mencapai Paris, kerumunan itu tetap hening. Majelis itu untuk sementara menangguhkan sang raja. Ia dan Ratu Marie Antoinette tetap ditempatkan di bawah pengawalan.
Hari-hari terakhir Majelis Konstituante Nasional

Untuk diskusi lebih jelas, silakan lihat Hari-hari terakhir Majelis Konstituante Nasional.

Dengan sebagian besar anggota majelis yang masih menginginkan monarki konstitusional daripada republik, sejumlah kelompok itu mencapai kompromi yang membiarkan Louis XVI tidak lebih dari penguasa boneka: ia terpaksa bersumpah untuk konstitusi, dan sebuah dekrit menyatakan bahwa mencabut sumpah, mengepalai militer untuk mengumumkan perang atas bangsa, atau mengizinkan tiap orang untuk berbuat demikian atas namanya berarti turun tahta secara de facto.

Jacques Pierre Brissot mencadangkan sebuah petisi, bersikeras bahwa di mata bangsa Louis XVI dijatuhkan sejak pelariannya. Sebuah kerumunan besar berkumpul di Champ-de-Mars untuk menandatangani petisi itu. Georges Danton dan Camille Desmoulins memberikan pidato berapi-api. Majelis menyerukan pemerintah kotamadya untuk "melestarikan tatanan masyarakat". Garda Nasional di bawah komando Lafayette menghadapi kerumuman itu. Pertama kali para prajurit membalas serangan batu dengan menembak ke udara; kerumunan tidak bubar, dan Lafayette memerintahkan orang-orangnya untuk menembak ke kerumunan, menyebabkan pembunuhan sebanyak 50 jiwa.

Segera setelah pembantaian itu pemerintah menutup banyak klub patriot, seperti surat kabar radikal seperti L'Ami du Peuple milik Jean-Paul Marat. Danton lari ke Inggris; Desmoulins dan Marat lari bersembunyi.

Sementara itu, ancaman baru dari luar muncul: Leopold II, Kaisar Romawi Suci, Friedrich Wilhelm II dari Prusia, dan saudara raja Charles-Phillipe, comte d'Artois mengeluarkan Deklarasi Pilnitz yang menganggap perkara Louis XVI seperti perkara mereka sendiri, meminta pembebasannya secara penuh dan pembubaran majelis itu, dan menjanjikan serangan ke Perancis atas namanya jika pemerintah revolusi menolak syarat tersebut.

Jika tidak, pernyataan itu secara langsung membahayakan Louis. Orang Perancis tidak mengindahkan perintah penguasa asing itu, dan ancaman militer hanya menyebabkan militerisasi perbatasan.

Malahan sebelum "Pelarian ke Varennes", para anggota majelis telah menentukan untuk menghalangi diri dari legislatur yang akan menggantikan mereka, Majelis Legislatif. Kini mereka mengumpulkan sejumlah hukum konstitusi yang telah mereka sahkan ke dalam konstitusi tunggal, menunjukkan keuletan yang luar biasa dalam memilih untuk tidak menggunakan hal ini sebagai kesempatan untuk revisi utama, dan mengajukannya ke Louis XVI yang dipulihkan saat itu, yang menyetujuinya, menulis "Saya mengajak mempertahankannya di dalam negeri, mempertahankannya dari semua serangan luar; dan menyebabkan pengesahannya yang tentu saja ditempatkan di penyelesaian saya". Raja memuji majelis dan menerima tepukan tangan penuh antusias dari para anggota dan penonton. Majelis mengakhiri masa jabatannya pada tanggal 29 September 1791.

Mignet menulis, "Konstitusi 1791... adalah karya kelas menengah, kemudian yang terkuat; seperti yang diketahui benar, karena kekuatan yang mendominasi pernah mengambil kepemilikan lembaga itu... Dalam konstitusi ini rakyat adalah sumber semua, namun tak melaksanakan apapun." [3]
[sunting] Majelis Legislatif dan kejatuhan monarki
Untuk penjelasan lebih jelas tentang peristiwa antara 1 Oktober 1791 - 19 September 1792, lihat Majelis Legislatif dan jatuhnya monarki Perancis.
[sunting] Majelis Legislatif

Di bawah Konstitusi 1791, Perancis berfungsi sebagai monarki konstitusional. Raja harus berbagi kekuasaan dengan Majelis Legislatif yang terpilih, namun ia masih bisa mempertahankan vetonya dan kemampuan memilih menteri.

Majelis Legislatif pertama kali bertemu pada tanggal 1 Oktober 1791, dan jatuh dalam keadaan kacau hingga kurang dari setahun berikutnya. Dalam kata-kata 1911 Encyclopædia Britannica: "Dalam mencba memerintah, majelis itu sama sekali gagal. Majelis itu membiarkan kekosongan keuangan, ketidakdisiplinan pasukan dan angkatan laut, dan rakyat yang rusak moralnya oleh huru-hara yang aman dan berhasil."

Majelis Legislatif terdiri atas sekitar 165 anggota Feuillant (monarkis konstitusional) di sisi kanan, sekitar 330 Girondin (republikan liberal) dan Jacobin (revolusioner radikal) di sisi kiri, dan sekitar 250 wakil yang tak berafiliasi dengan faksi apapun.

Sejak awal, raja memveto legislasi yang mengancam émigré dengan kematian dan hal itu menyatakan bahwa pendeta non-juri harus menghabiskan 8 hari untuk mengucapkan sumpah sipil yang diamanatkan oleh Konstitusi Sipil Pendeta. Lebih dari setahun, ketidaksetujuan atas hal ini akan menimbulkan krisis konstitusi.
Perang

Politik masa itu membawa Perancis secara tak terelakkan ke arah perang terhadap Austria dan sekutu-sekutunya. Sang Raja, kelompok Feuillant dan Girondin khususnya menginginkan perang. Sang Raja (dan banyak Feuillant bersamanya) mengharapkan perang akan menaikkan popularitasnya; ia juga meramalkan kesempatan untuk memanfaatkan tiap kekalahan: yang hasilnya akan membuatnya lebih kuat. Kelompok Girondin ingin menyebarkan revolusi ke seluruh Eropa. Hanya beberapa Jacobin radikal yang menentang perang, lebih memilih konsolidasi dan mengembangkan revolusi di dalam negeri. Kaisar Austria Leopold II, saudara Marie Antoinette, berharap menghindari perang, namun meninggal pada tanggal 1 Maret 1792.

Perancis menyatakan perang pada Austria (20 April 1792) dan Prusia bergabung di pihak Austria beberapa minggu kemudian. Perang Revolusi Perancis telah dimulai.

Setelah pertempuran kecil awal berlangsung sengit untuk Perancis, pertempuran militer yang berarti atas perang itu terjadi dengan Pertempuran Valmy yang terjadi antara Perancis dan Prusia (20 September 1792). Meski hujan lebat menghambat resolusi yang menentukan, artileri Perancis membuktikan keunggulannya. Namun, dari masa ini, Perancis menghadapi huru-hara dan monarki telah menjapada masa lalu.
[sunting] Krisis konstitusi
10 Agustus 1792 di Komune Paris
!Artikel utama untuk bagian ini adalah: 10 Agustus (Revolusi Perancis) dan Pembantaian September

Pada malam 10 Agustus 1792, para pengacau, yang didukung oleh kelompok revolusioner baru Komuni Paris, menyerbu Tuileries. Raja dan ratu akhirnya menjadi tahanan dan sidang muktamar Majelis Legislatif menunda monarki: tak lebih dari sepertiga wakil, hampir semuanya Jacobin.

Apa yang tersisa di pemerintahan nasional bergabung pada dukungan commune. Saat commune mengirimkan sejumlah kelompok pembunuh ke penjara untuk menjagal 1400 korban, dan mengalamatkan surat edaran ke kota lain di Perancis untuk mengikuti conth mereka, majelis itu hanya bisa melancarkan perlawanan yang lemah. Keadaan ini berlangsung terus menerus hingga Konvensi, yang diminta menulis konstitusi baru, bertemu pada tanggal 20 September 1792 dan menjadi pemerintahan de facto baru di Perancis. Di hari berikutnya konvensi itu menghapuskan monarki dan mendeklarasikan republik. Tanggal ini kemudian diadopsi sebagai awal Tahun Satu dari Kalender Revolusi Perancis.
[sunting] Konvensi
Eksekusi Louis XVI
Untuk penjelasan lebih lanjut tentang peristiwa antara 20 September 1792- 26 September 1795, lihat Konvensi Nasional.

Kuasa legislatif di republik baru jatuh ke Konvensi, sedangkan kekuasaan eksekutif jatuh ke sisanya di Komite Keamanan Umum. Kaum Girondin pun menjadi partai paling berpengaruh dalam konvensi dan komite itu.

Dalam Manifesto Brunswick, tentara kerajaan dan Prusia mengancam pembalasan ke penduduk Perancis jika hal itu menghambat langkah majunya atau dikembalikannya monarki. Sebagai akibatnya, Raja Louis dipandang berkonspirasi dengan musuh-musuh Perancis. 17 Januari 1793 menyaksikan tuntutan mati kepada Raja Louis untuk "konspirasi terhadap kebebasan publik dan keamanan umum" oleh mayoritas lemah di konvensi. Eksekusi tanggal 21 Januari menimbulkan banyak perang dengan negara Eropa lainnya. Permaisuri Louis yang kelahiran Austria, Marie Antoinette, menyusulnya ke guillotine pada tanggal 16 Oktober.

Saat perang bertambah sengit, harga naik dan sans-culottes (buruh miskin dan Jacobin radikal) memberontak; kegiatan kontrarevolusi mulai bermunculan di beberapa kawasan. Hal ini mendorong kelompok Jacobin merebut kekuasaan melalui kup parlemen, yang ditunggangi oleh kekuatan yang didapatkan dengan menggerakkan dukungan publik terhadap faksi Girondin, dan dengan memanfaatkan kekuatan khayalak sans-culottes Paris. Kemudian persekutuan Jacobin dan unsur-unsur sans-culottes menjadi pusat yang efektif bagi pemerintahan baru. Kebijakan menjadi agak lebih radikal.
Guillotine: antara 18.000-40.000 jiwa dieksekusi selama Pemerintahan Teror

Komite Keamanan Publik berada di bawah kendali Maximilien Robespierre, dan Jacobin melepaskan tali Pemerintahan Teror (1793-1794). Setidaknya 1200 jiwa menemui kematiannya dengan guillotine dsb; setelah tuduhan kontrarevolusi. Gambaran yang sedikit saja atas pikiran atau kegiatan kontrarevolusi (atau, pada kasus Jacques Hébert, semangat revolusi yang melebihi semangat kekuasaan) bisa menyebabkan seseorang dicurigai, dan pengadilan tidak berjalan dengan teliti.

Pada tahun 1794 Robespierre memerintahkan tokoh-tokoh Jacobin yang ultraradikal dan moderat dieksekusi; namun, sebagai akibatnya, dukungan rakyat terhadapnya terkikis sama sekali. Pada tanggal 27 Juli 1794, orang-orang Perancis memberontak terhadap Pemerintahan Teror yang sudah kelewatan dalam Reaksi Thermidor, yang menyebabkan anggota konvensi yang moderat menjatuhkan hukuman mati buat Robespierre dan beberapa anggota terkemuka lainnya di Komite Keamanan Publik. Pemerintahan baru itu sebagian besar tersusun atas Girondis yang lolos dari teror, dan setelah mengambil kekuasaan menuntut balas dengan penyiksaan yang juga dilakukan terhadap Jacobin yang telah membantu menjatuhkan Robespierre, melarang Klub Jacobin, dan menghukum mati sejumlah besar bekas anggotanya pada apa yang disebut sebagai Teror Putih.

Konvensi menyetujui "Konstitusi Tahun III" yang baru pada tanggal 17 Agustus 1795; sebuah plebisit meratifikasinya pada bulan September; dan mulai berpengaruh pada tanggal 26 September 1795.
[sunting] Direktorat
Untuk informasi lebih banyak tentang peristiwa antara 26 September 1795 - 9 November 1799, lihat Direktorat Perancis.

Konstitusi baru itu melantik Directoire (bahasa Indonesia: Direktorat) dan menciptakan legislatur bikameral pertama dalam sejarah Perancis. Parlemen ini terdiri atas 500 perwakilan (Conseil des Cinq-Cents/Dewan Lima Ratus) dan 250 senator (Conseil des Anciens/Dewan Senior). Kuasa eksekutif dipindahkan ke 5 "direktur" itu, dipilih tahunan oleh Conseil des Anciens dari daftar yang diberikan oleh Conseil des Cinq-Cents.

Régime baru bertemu dengan oposisi dari Jacobin dan royalis yang tersisa. Pasukan meredam pemberontakan dan kegiatan kontrarevolusi. Dengan cara ini pasukan tersebut dan jenderalnya yang berhasil, Napoleon Bonaparte memperoleh lebih banyak kekuasaan.

Pada tanggal 9 November 1799 (18 Brumaire dari Tahun VIII) Napoleon mengadakan kup yang melantik Konsulat; secara efektif hal ini memulai kediktatorannya dan akhirnya (1804) pernyataannya sebagai kaisar, yang membawa mendekati fase republikan spesifik pada masa Revolusi Perancis.